Sepertinya angin tengah berusaha untuk menggerakkan gumpalan awan yang membawa butir-butir air, langit sudah berwarna gelap ke abu-abuan, bau tanah bercampur air yang menenangkan dan biasa dikenal dengan sebutan petrichor sudah mulai tercium, tidak berselang lama awan sudah tak mampu membendung air yang di muatnya dan hujan mulai membasahi ibu kota.
Kedua remaja yang kini tengah berada di salah satu halte yang berjarak cukup jauh dari kompleks rumahnya, sedangkan waktu sudah menunjukkan pukul lima sore, kilatan petir membuat suasana sore ini menjadi mencekam.
Larisa sepulang sekolah mendapat panggilan untuk melakukan pemotretan, dengan diantarkan lelakinya, yang menjemput Larisa dengan motor hitamnya membuat mereka harus berteduh lantaran hujan turun begitu deras.
Meskipun hari sudah mulai gelap namun apalahdaya ketika kondisi tak memungkinkan untuk pulang.
Farel melihat gadis di sampingnya yang kini tengah kedinginan melepas jaket parka berwarna hitam dan memakaikan pada Larisa, membuat Farel hanya mengenakan kaos lengan pendek berwarna putih, tangan Farel terulur memeluk gadisnya dari samping ingin mencoba mengurangi rasa dingin yang tercipta, tangan Farel yang menganggur menggenggam tangan Larisa.
Sepertinya butiran air masih belum ingin berhenti membasahi tanah, pengcahayaan sudah mulai bergantung dengan lampu-lampu di sepanjang jalan, dan beberapa orang yang tadinya berteduh kini mulai memberanikan diri menerobos derasnya hujan, karena hari semakin petang.
Larisa yang sejak tadi menyandarkan kepalanya pada bahu Farel kini memilih menegakkan duduknya.
"Rel, pulang aja yuk!" ajak Larisa yang sudah ingin segera sampai rumah karena udara semakin dingin.
"Yakin?" tanya Farel memastikan, karena hujan masih begitu deras dan tidak ada perubahan sedikitpun.
"Iya, pulang aja."
Farel sebenarnya tak tega membuat gadisnya basah kuyup nantinya, namun kulit putih gadis itu semakin pucat saja dan bibirnya sedikit bergetar.
Larisa yang sudah menaiki motor Farel, kini memeluk erat lelakinya, kepalanya sedikit berdenyut menahan dingin dan ia memilih menyenderkan kepalanya pada punggung di depannya.
Terpaan angin di derasnya hujan begitu terasa menusuk indra peraba, apalagi dengan lelaki yang kini tengah sibuk memfokuskan pandangannya di tengah guyuran air, hanya kaos yang melekat di tubuhnya sudah di pastikan rasa dingin tidak dapat di tangkisnya sama sekali.
Sebenarnya jika kondisi lalu lintas normal setengah jam mereka akan sampai di rumah Larisa, namun minimnya penglihatan membuat para pengendara memilih mengemudi dengan kecepatan sedang bahkan ada yang di bawah rata-rata.
Sekitar empat puluh lima menit mereka sampai di halaman rumah Larisa, hujan masih tetap saja setia menyapa bumi meskipun tidak sederas tadi.
Larisa turun dari motor Farel dan bergegas berteduh di depan rumahnya, kakinya terasa kaku untuk berjalan, bahkan bibirnya kini membiru, Farel mengikuti langkah gadisnya, merasa khawatir dengan kondisinya saat ini.
"Ma,,suk du,,lu Rel," ajak Larisa, bibirnya tak bisa berkata dengan normal.
Farel menggenggam tangan Larisa yang bergetar dan terasa begitu dingin, bahkan lebih dingin daripada telapak tangannya sendiri.
"Udah malem." Tolak Farel, ia juga berfikir Bundanya pasti akan khawatir lantaran Farel tak memberi kabar sama sekali karena ponselnya sudah tak berdaya.
Larisa menganggukkan kepalanya
dan berjalan masuk ke dalam rumahnya."Ris," panggil Farel sebelum gadis itu benar-benar masuk dengan sempurna, membuat Larisa menolehkan kepalanya.
"Jangan sakit." Lanjut Farel, tatapannya seolah mengisyaratkan jika lelaki itu benar-benar khawatir.
Ucapan itu dibalas anggukan lemah dan senyuman tipis oleh gadisnya.
Suara derum motor Farel mulai menjauh dari halaman rumah Larisa, lelaki itu kembali menerobos di tengah rintikan air yang masih turun.
°°°
Bau-bau segar sisa tetesan hujan masih saja tercium, dengan suara rintikan ringan yang masih terdengar, begitu juga suara guntur terdengar bersahutan.
Larisa yang sudah berganti dengan piyama tidurnya sudah tidak mampu lagi menggerakkan tubuhnya, ia hanya mampu berbaring dan bergelung dengan selimutnya, rasa lapar tidak dihiraukan gadis itu, yang dibutuhkan saat ini adalah kehangatan.
Pintu kamarnya di buka wanita paruh baya cantik seperti dirinya.Tangan Widyah terulur menyentuh dahi putri tunggalnya, suhu tubuhnya naik menjadi 37°.
"Ris, gak mau makan dulu, terus minum obat." Ucap Mamanya lembut, seraya mengelus Surai hitam putrinya.
"Besok aja ya Ma, Larisa ngantuk." Tolak Larisa dengan mata yang tetap tertutup.
Sebenarnya Widyah sangat khawatir dengan kondisi Larisa namun, lebih baik ia membiarkan putrinya beristirahat lebih dulu.
°°°
Jika Larisa kini tengah tidur beristirahat, lain dengan Farel yang tengah khawatir memikirkan kondisi gadisnya, apakah Larisa baik-baik saja atau sebaliknya.Pikirannya terus saja mengarah pada gadis itu, membuat dirinya susah untuk memejamkan matanya, ingin sekali lelaki itu menghubungi Larisa, namun jam di dinding kamarnya sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, ia memilih akan menjemputnya saja besok pagi.
***
Thanks for readingVote dan komentar pasti hal yang aku tunggu setelah update :)
Tandai jika ada typo
KAMU SEDANG MEMBACA
Larisa and The Ice Boys
Teen FictionLarisa, gadis cantik yang menerjuni dunia permodelan diusianya yang terbilang muda, kesibukan pemotretan nya sehingga ia lupa dengan waktu, membuat dirinya di hari pertama memasuki sekolah telat untuk mengikuti acara MOS. Farel, cowok dingin yang me...