7. Tak Peduli

26.8K 1.8K 33
                                        

    7. Tak peduli

"Nggak ada yang perlu dibicarakan,"

Aku mendengus. Gusar bukan kepalang. Bagaimana bisa dia mengucapkan dengan sesantai itu. Mengingat rentetan kejadian yang kami alami selama kurang seminggu. Harusnya kan ini kesempatan kami untuk bisa berbicara. Mungkin kemarin saat di rumahnya ia tak bisa leluasa berbicara denganku. Tapi sekarang, jauh lebih mudah.

Hellow, ini masalah besar!

Sangat besar justru!

"Kok bisa gitu?" Wajahku berlipat menatapnya garang, "Banyak yang harus kita omongin, Ga!" lanjutku ketus.

Oke, emosiku mulai naik!

Tarik napas, Ai, peringatku dalam hati. Masalah diselesaikan baik- baik. Dengan kepala dingin, bukan marah- marah.

"Hey Baby," Arga tersenyum miring, "Nggak perlu ngambek gitu dong!"

Aku mendelik sebal, "Siapa yang ngambek?" kataku sinis. Ck, wajar aku ngambek, sikapnya sungguh teramat menyebalkan seperti ini.

Makan hati!

Arga tertawa. Lepas. Seperti tak ada beban. Kepalanya menggeleng beberapa kali menatapku intens. Aku melengos.

"NGGAK LUCU!" kataku sewot. Kutinggalkan ia. Aku memilih keluar kamar mencari udara segar yang bisa meredakan emosiku. Selalu, setiap berkomunikasi dengan Arga tak pernah ada yang selesai. Kalau tidak isi otaknya mesum, dia bisa menakutkan juga menjengkelkan seperti sekarang.

Argh, hidupmu benar- benar menderita, Ai!

"Hey, Sayang! Mau kemana kamu? Bukankah...,"

Aku tak lagi mendengar kata- kata Arga. Dari tawanya aku yakin kalau ia masih bertingkah menyebalkan. Jangan berharap akan ada omongan serius darinya.

Ya Tuhan, betapa ujianMu teramat berat...

***

Dengan rasa percaya diri aku menekan tombol segiempat yang ada di sisi kanan pintu. Kulirik alamat yang tertera di secarik kertas yang berada di tanganku. Memastikan bahwa apartemen yang tengah kudatangi beralamat sama dengan yang berada di tanganku.

Tak lama pintu terbuka. Sosok lelaki tinggi berbadan tegap muncul dengan mengenakan pakaian kasual. Wajahnya tampan, terlihat sedikit perpaduan asing mengingatkanku pada sosok seorang artis yang biasa membawakan acara petualangan. Tapi sayang lupa namanya.

"Ya," katanya saat kami berhadapan.

"Lo yang namanya Arga?" tanyaku tajam. Tanpa basa- basi.

Lelaki itu menaikkan satu alisnya. Menatapku dengan heran, "Iya. Gue Arga," ucapnya dengan kepala mengangguk, "Dan lo?"

"Gue Aina. Sahabat Mahira!" jawabku kemudian.

Ia mengernyitkan dahi. Tangannya kini bersidekap di depan dada. Matanya menelusuri diriku berulang kali. "Lalu?"

Hah? Sedetik aku melongo sebelum akhirnya mengeluarkan makian yang membuat Arga terbelalak/

"LO ITU BAJINGAN!" umpatku, "LO LELAKI SIALAN YANG MENGHANCURKAN HIDUP SEORANG WANITA!

"Hei, hei! Wait... wait!" Tangan Arga terangkat ke atas untuk menghentikanku, "Kenapa kamu jadi marah- marah?"

Aku melotot tajam, "Lo enak- enakan hidup? Sedangkan sahabat gue koma. Antara hidup dan mati.

"Lo harus tanggung jawab, Arga!" lanjutku lagi. "LO HARUS TANGGUNG JAWAB!" kataku histeris.

Senandung Cinta AinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang