18. Cemburu Part 1

30.2K 2K 38
                                    

18. Cemburu Part 1

Happy Reading !!!!

"Lo kenapa sih, Ai?"

"Hah?"

Aku mendongak. Gita mengernyit menatapku lekat- lekat. Ia menyeretku mengikutinya ke kantin. Jam makan siang memang masih kurang sepuluh menit lagi, tetapi Gita sepertinya tak sabar. Aku yakin dia memperhatikan sekali sikapku yang lebih sering melamun akhir- akhir ini. Rasa penasarannya cukup tinggi.

"Kenapa?" Alisku bertaut, "Apanya? Lo yang aneh masih juga kurang 10 menit udah nyeret gue kemari. Kelaparan, Bu."

"Aish, nggak harus tepat waktu. Bos- bos malah udah ngilang dari setengah jam lalu," gerutu Gita. Tangannya terangkat, memanggil seorang pelayan. Tak lama seorang perempuan yang sudah kami kenal cukup akrab menghampiri.

"Biasa ya, Ris."

Riska, pelayan wanita itu menganggukkan kepalanya. Ia beralih memandangku. "Mbak Ai pesan apa?"

"Es jeruk aja, Ris."

"Nggak makan lo?"

"Males," jawabku sambil menggelengkan kepala.

Gita mendesis. "Badan lo yang ada makin kerempeng lo, Ai."

Aku tergelak. "Tapi seksi kan?" bisikku menggoda. Gita berdecak gusar.

"Ya udah, bawain gue siomay aja Ris." kataku mengalah akhirnya. Riska mengangguk, tak lama gadis itu berlalu meninggalkan kami.

"Kayak kenyang aja lo, Ai," sindir Gita yang membuatku terkikik. "Lagian lo itu kenapa sih? Aneh berhari- hari,"

"Nggak sadar lo ya," Gita mengangguk, "Masalah lo makin berat ya?"

"Kelihatannya?" kataku balik bertanya. Senyum simpul tersinggung di bibirku. Gita dan raut gusarnya ternyata menjadi hiburan tersendiri bagiku.

Gita memutar bola matanya jengah, "Please deh Ai, gue serius!"

"Lah kapan gue bercanda,"

"Ya Tuhan, Aina! Gemes gue sama lo."

Aku tertawa, lalu tersenyum. "Gue nggak kenapa- napa, Git. Santai aja!"

"Nggak kenapa- napa itu berarti kenapa- napa, Ai."

Aku terdiam seketika. Hatiku mencelos pilu. Terlihat memprihatinkan sekali kah keadaanku?

"Aina,"

Kuhirup nafas dalam- dalam untuk mengisi rongga paru- paru, "Nanti, Git. Gue akan cerita tapi nggak sekarang." Kataku akhirnya

Gita mendesah kecewa, "Ya udah kalau gitu. Gue hormati keputusan lo. Tapi lo harus percaya gue selalu ada disamping lo,"

Aku mengangguk mengiyakan. Kurasakan mataku terasa lembab seketika. Gita itu baik, tapi aku yang terbiasa hidup mandiri dari kecil tak banyak mempercayai orang. Apalagi masalah yang kuhadapi sekarang bisa membongkar aib pernikahanku. Oh, tidak!

"Thanks ya, Git!"

"Iya," Gita hanya manggut- manggut. Tak lama kulihat matanya terbeliak, ia mencondongkan wajahnya ke arahku.

"Ada obat mujarab buat lo biar nggak bete?"

"Obat mujarab?"

Gita mengangguk. Kepalanya terangkat sedikit. Aku mengerti dan segera berbalik. Kantin mulai dimasuki banyak karyawan, namun mataku mendapati sosok laki- laki tampan yang banyak diidolakan kaum wanita di kantorku. Laki- laki yang beberapa bulan lalu sering menjadi pembicaraanku dan Gita. Yang karena dia, aku dan Gita selalu bersemangat untuk makan siang di kantin kantor.

Senandung Cinta AinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang