9. Rasa itu

28.6K 1.9K 22
                                    

Arga, sialaaaaaaan...

Aku merutuk dalam hati. Cowok kurang ajar!

Ck, bagaimana bisa dia menyuruhku untuk datang duluan ke pesta pernikahan temennya padahal aku sama sekali tak mengenal mereka.

Arh, sesibuk apa sih dia? Masih juga di kantor jam segini!

Kulirik ponsel yang baru kulempar di atas ranjang. Akibat kekesalanku, ponsel menjadi korban. Beruntungnya kulempar di atas ranjang. Coba kalau tadi aku lempar ke arah dinding. Bisa hancur berkeping- keping mungkin.

Kan sayang?

Mencari uang itu sulit ya, jadi jangan hanya karena amarah sesaat barang yang kamu beli dengan susah payah menjadi tergeletak tak berdaya dengan penyesalan yang muncul di belakang.

Jadi pastikan melempar ponsel di atas ranjang. Aman!

Eh tapi ngomong- ngomong, Arga nggak bilang akan menyusul jam berapa? Ah, sial! Sial! Aku benar- benar tak habis pikir jalan pikirannya. Kenapa dia tak datang sendiri saja coba, kan lebih efektif dan efisien.

Argh, desahku frustasi. Bukan Arga kalau tak menyebalkan.

Lelaki Egois!!

***

Langkahku terhenti tepat di depan pintu masuk ballroom, tempat berlangsungnya acara. Dominasi merah dan gold mendominasi dekorasi keseluruhan ruangan. Sesaat mataku menyipit dan menemukan pengantin bermata sipit. Hemm, pantas saja banyak menggunakan warna merah dan emas.

Aku bergeming. Pandanganku mengarah ke berbagai sisi. Pesta ini lebih dari sekedar pesta biasa. Ini pesta pernikahan yang mewah dan sempurna. Khas kalangan atas. Lihat saja para tamunya muncul dengan penampilan- penampilan sempurna dan berkelas. Gaun bagus, baju indah.

Oh tunggu, di beberapa sudut mataku menemukan beberapa selebritis yang wara- wiri di layar kaca.

Ya Tuhan, ini orang kaya sekali.

Tiba- tiba aku merasa minder. Jelas bukan duniaku. Aku menelan ludah pahit. Seharusnya aku tidak datang. Sudah minder sendirian pula. Ck, kemana sih dia?

Ku cari nama Arga di ponsel yang sedari tadi berada di genggamanku. Aku mendengus sebal ketika tak ada nada yang tersambung. Justru suara operator yang terdengar.

Sial, kemana dia? Rutukku dalam hati.

Aku menoleh ke kanan dan kiri. Sesekali kakiku berjinjit, kepalaku mendongak. Mencari sosok laki- laki yang memaksaku ke sini. Aku menciut karena menyadari keadaan sangat ramai. Bagaimana menemukan lelaki sinting itu diantara sekian ratus manusia.

Argh, lagi- lagi aku frustasi.

Pulang atau tetap maju ya? batinku mulai berperang.

Kalau maju, salaman dengan pengantin aku sendirian. Sudah seperti anak kehilangan induknya.

Mana dua- duanya nggak kenal lagi!

Duh keliatan ngenes amat nasibku!

Kalau pulang, lebih malu lagi sih! Lagian udah sampe sini juga!

Gimana ya? Aku menggaruk- garuk kepalaku yang tak gatal. Duh, bagaimana ini?

"Aina kan?"

Aku mengernyitkan dahi sejenak. Di depanku tampak seorang laki- laki muda bertubuh jangkung dalam balutan jas warna putih gading menatapku dengan sedikit ragu. Sepertinya pernah lihat,

Kuanggukkan kepala, "Iya, dan sorry...," aku terdiam. Berpikir siapa lelaki ini?

"Saka," senyumnya ramah, "Teman Arga,"

Senandung Cinta AinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang