8. Antara Kita

29.2K 1.8K 17
                                    


Ck, keputusan bodoh!

Aku merutuk dalam hati. Kesialan yang menimpa hidupku saat ini benar- benar tak bisa disangka. Kalau saja aku tak meladeni kegilaan Arga waktu itu, mungkin aku takkan berakhir menjadi istrinya.

Bodoh kamu, Aina!

Kuhirup napas panjang kemudian menghembuskannya perlahan. Sesal selalu datang belakangan. Waktu tak bisa diputar ulang. Bagaimanapun juga kini statusku berbeda. Aku harus sadar mengenai hal itu.

Tapi bagaimana pernikahan ini bisa berjalan, Tuhan?

"Supaya kalian tidak melakukan hal yang dilarang Tuhan,"

Masih kuingat jelas perkataan ibu Arga saat aku menolak seketika ide pernikahan dadakan itu. Tapi sayangnya usahaku sia- sia. Doktrin bahwa aku kekasih Arga sudah sangat menyerap di kepala Ibunya. Arga sendiri tak bisa berbuat banyak. Protes kami hanya berakhir sia- sia.

Aku tak bisa kabur, karena pasca pertemuan di apartemen Arga, Ibunda Arga membawaku ikut serta ke rumahnya. Beliau ternyata mempersiapkan dengan cepat. Pernikahan sederhana yang hanya dihadiri penghulu dan beberapa tamu terjadi keesokan harinya. Bukan siri, tapi nikah sah baik di mata hukum dan agama. Fakta diriku yang hidup sebatang kara pun ternyata memudahkan semuanya berlangsung dengan cepat.

Argh, aku mengerang frustasi. Kutundukkan kepala di atas meja lalu memejamkan mata. Apa yang harus kulakukan?

Berpisah? Jelas tak mungkin. Pernikahan masih baru. Belum ada seminggu.

Melanjutkan? Ah, bagaimana bisa...

Otakku benar- benar buntu memikirkan semuanya.

"Mbak Aina,"

Kuangkat kepala dan menemukan Bi Ana sedang menatapku bingung. "Mbak Ai sakit?"

Aku menggeleng, "Nggak. Aku nggak papa kok, Bi."

"Oh, Bibi kira Mbak Aina sakit," katanya dengan menghembuskan napas lega. "Kok tiduran di meja toh, Mbak. Mending pindah ke kamar."

Kuanggukan kepala perlahan, "Belum ngantuk, Bi."

"Mbak Aina mau makan?"

Aku terdiam. "Kalau mau makan, tunggu bentar ya, Mbak. Bibi masak dulu. tadi belum sempat masak."

"Kalau gitu, aku ikut masak, Bi." usulku seraya beranjak dari kursi.

"Eh, nggak usah, Mbak. Biar Bibi aja." Bi Ana menggelengkan kepalanya. Aku tersenyum.

"Ck, kan aku yang lapar, Bi. Jadi terserah aku dong mau masak apa."

Bi Ana terbelalak. Namun tak lama kepalanya mengangguk segan. Aku terbahak dalam hati. Sekali- kali memanfaatkan status okelah.

"Mau masak apa, Mbak?" tanya Bi Ana saat kami sudah berada di dapur. Aku membuka kulkas yang berada di sudut kanan, memeriksa bahan makanan apa yang ada yang kemudian bisa kuolah.

"Bibi belanja?" tanyaku saat melihat isi kulkas yang beraneka dengan jumah yang cukup banyak.

Bi Ana mengangguk. "Kan Mas Arga bilang mau ke sini jadi tadi Bibi ke pasar dulu,"

Kusungging sebuah senyuman, "Makasih, Bi."

"Kok makasih, Mbak?" Bi Ana mengernyit.

"Loh kan Bibi udah ngisi kulkas segini banyak."

Bi Ana manggut- manggut, "Udah kerjaan Bibi itu, Mbak."

"Bibi udah lama kerja sama Arga?" kataku sembari memilah-milah bahan makanan yang akan digunakan, "Bikin capcay sama ayam goreng tepung aja deh, Bi." sambungku menyebutkan makanan yang ingin kumasak.

Senandung Cinta AinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang