5. Perubahan
"Hai Sayang, bagaimana keadaanmu? Sudah sehat kan?"
Sosok wanita baya yang masih terlihat cantik di usianya menyapaku sesaat setelah aku menuruni tangga yang ada di dalam rumah. Senyum tersungging di bibir tipisnya. Lembut dan ramah.
"Kamu jangan terlalu lelah, Sayang. Kamu harus jaga kesehatan!"
Aku terdiam. Bagaimana tidak lelah, jika selama seminggu terlalu banyak masalah yang mendera diriku. Bolak- balik rumah sakit menjaga Mahira, lalu menemui Arga yang sungguh teramat sulit hingga akhirnya sekarang, terperangkap di rumah ini sebagai seorang istri yang menikah dengan lelaki yang tidak pernah dicintai.
Tapi ngomong- ngomong, Mahira apa kabar ya?
"Aina,"
Aku tersentak. Arga menyenggol bahuku membuatku menoleh . Kedua alisnya bertaut dengan pandangan bingung.
"Are you ok?"
"Sepertinya Aina masih nggak enak badan," Wanita baya yang kutahu Ibu Arga menatapku dengan raut cemas, "Kenapa kamu memaksanya turun sih, Ga!"
Aku tersenyum tipis. Lalu menggeleng perlahan, "Aku nggak pa...,"
"Yah, biar Aina nggak bosen di kamar terus, Mam." Arga memotong kalimatku. Tangannya bergerak melingkar di bahuku. Aku mengernyit tak suka, "Lagian dia udah sembuh kok. Iya kan, Sayang?"
Entah mengapa bulu kudukku meremang dengan sebutan Sayang yang diucapkan Arga. Aku bergidik lalu mendelik padanya. Arga tersenyum samar. Aku yakin dia merasa diatas angin karena sikapku yang cenderung kalem dan tak banyak tingkah.
Tunggu saja kalau kami sedang berdua!
"Itukan menurut kamu, Ga!" Cibir Ibu Arga, "Belum tentu Aina merasa seperti itu kan,"
"Eh nggak, Bu," jawabku cepat, "Saya baik-ba...,"
"MAMA!" Kalimatku terhenti. "Mama, Sayang. Bukan Ibu. Kamu sudah menikah dengan anak Mama. Jadi sekarang kamu juga anak Mama."
Hah?
Eh...
"Ma...ma," aku melafalkan dengan ragu. Ibu Arga tersenyum lebar. Tak lama ia menarikku dalam pelukannya.
"Welcome to home, Sayang." Katanya lembut, "Jangan sungkan untuk bercerita dan berbagi apapun. Kamu sekarang bagian dari keluarga ini. Kamu dan Arga sama- sama anak Mama."
Nafasku tercekat seketika. Setitik air mata lolos membasahi pipiku. Ada perasaan hangat yang mengalir di diriku. Sungguh penerimaan ini membuatku terharu. Pelukan ini...
Orang tuaku meninggal sudah terlalu lama. Saat aku kecil. Aku bahkan lupa bagaimana rasanya pelukan seorang Ibu. Tumbuh bersama Nenek jelas berbeda.
Aku merindukan pelukan ini.
"Kamu nangis, Sayang?" tanya Mama saat melonggarkan pelukannya. Kugelengkan kepala sembari menyeka air mataku.
"Sayang,"
"Nggak. Aku nggak papa kok, Ma cuma...," Mama mengernyit menunggu kelanjutan kalimatku. Alisnya yang bertaut mengingatkanku dengan kebiasaan Arga yang sama.
Like mother like son.
"Cuma apa?"
"Cuma...," aku berpikir sejenak sebelum akhirnya menjawab. "Cuma senang Mama menerimaku hangat."
Mama terkekeh, "Hemm, sering dengar mertua nggak asik ya? Tenang aja, Sayang Mama berbeda."
Aku tertawa. Sifat Mama memang sangat menyenangkan dan ramah. Aku menyukainya. Sepertinya hubungan kami akan berjalan baik.

KAMU SEDANG MEMBACA
Senandung Cinta Aina
NezařaditelnéCinta tak pernah dapat ditebak kapan dan darimana asalnya.... Hak Cipta Dilindungi Undang- Undang. Nggak ngelarang kalau mau copas atau ngeshare tapi tetep tolong cantumkan nama PENULIS. STOP PLAGIARISME! Jika ingin dihargai, belajarlah menghargai k...