17. Rumit

28.5K 1.8K 35
                                    


Aku memijat pelipisku berulang kali. Permasalahan semakin panjang sepertinya. Mengingat kondisi ibu Mahira yang tak baik, Mbak Rianti dan Ayah Mahira memutuskan memnyembunyikan fakta Mahira keguguran. Maka wajarlah jika beliau pingsan karena mencuri dengar percakapan kami tadi.

Ya Tuhan...

Aku menghela nafas gusar, kalau saja Arga tak menarik paksa diriku mengikutinya hingga ke Rumah Sakit, mungkin tak seperti ini jadinya.

Tidak, tidak! gelengku dalam hati. Kalau Arga tak membawaku kemari justru aku takkan tahu kebenarannya.

Syukurlah, ternyata bukan Argaku...

Tapi siapa?

""PULANG SAJA KALIAN!"

Aku tersentak. Pakde Yo marah. Ayah Mahira menatap ke arahku dan Arga dengan nyalang. Rahangnya mengeras menahan amarah. Aku pun menggigil. Selama mengenal beliau, tak pernah sekalipun Pakde Yo menatapku seperti itu. Tak ada lagi kelembutan serta kasih sayang yang terpancar di wajahnya. Justru kebencian, kekecewaan berpadu dengan kemarahan yang terlihat.

"TAK ADA GUNANYA KALIAN DISINI!"

Hatiku mencelos saat Pakde Yo membuang mukanya dariku.

Maaf Pakde...

Kutundukkan kepalaku. Aku mati- matian menahan air mata yang ingin melesak ke luar. Seumur hidup, aku tak pernah menginginkan hal ini terjadi. Hatiku terasa sakit mendapati Pakde Yo terlihat enggan menatapku. Kulirik ranjang yang berada di sebelah Mahira. Bude Ir yang belum juga siuman membuat driku kian merasa bersalah.

Kalau saja hari ini aku tak kemari...

"Maaf, Pak...,"

"PERGI!"

Aku berjengit. Aku mendongak dan menemukan pandangan itu masih tak berubah. Benci!

"Ta—tapi Bude....,"

"Pergilah, Ai!" Mbak Rianti yang duduk di sebelah ranjang Bude menatapku. Senyum tipis terkembang di wajahnya yang terlihat sembab. "Biarkan kami selesaikan masalah ini dulu."

Aku terdiam. Sebuah tangan menggenggam jemariku erat. Aku menoleh. Arga tak memandangku. Dia diam dengan ekspresi yang sulit kutebak.

"Kita pulang." katanya tegas lalu menarikku mengikutinya melangkah menuju pintu keluar. Namun tepat di pintu kamar, langkah Arga terhenti. Dia berbalik,

"Kamu harus jelaskan sebenar- benarnya pada keluargamu!" Aku yakin kalimat itu ditujukan ke Mahira.

"Dan anda! jangan pernah membenci istri saya karena jika saatnya terungkap anda akan menyesalinya!" lanjutnya yang membuatku terbelalak.

Arga membelaku?

Demi Tuhan, di saat dunia menyalahkanmu dan kamu menemukan seseorang tetap berada di sampingmu itu adalah kebahagiaan yang tak terkira.

***

Semua berawal dari aku. Kalimat konyol yang kukatakan saat di apartemen. Kalau saja hal itu tak terjadi. Kalau saja aku bersikap tenang dan tak mengikuti emosi, kalau saja aku jujur diawal, kalau saja...

Ah, terlalu banyak perandaian yang kubuat. Dan semua memang berakhir pada kesalahan konyolku pada pernikahan ini.

Aina bodoh, huh!

"Sudah kubilang aku tak pernah menyesal dengan pernikahan ini."

Aku terkesiap. Kubalikkan tubuh. Arga mendesah lalu menutup laptop yang ada di pangkuannya. Diletakkannya benda berbentuk segiempat itu di atas nakas kemudian ia menurunkan tubuhnya untuk berbaring tepat di sebelahku.

Senandung Cinta AinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang