13. Tak Rela

26.2K 1.8K 16
                                        

Kakiku melangkah tergesa- gesa ketika mobil Arga sudah berhenti tepat di depan rumah sakit. Aku memang sudah tak sabar bertemu Mahira, tapi juga menghindari pertanyaan Arga sebelumnya. Sesaat setelah keadaanku normal pasca tersedak, aku memilih bungkam. Tak berkata apapun untuk menjawab pertanyaan Arga.

Demi Tuhan, Arga bukan milikku...

Permasalahannya dengan Mahira saja belum selesai,

Aku berhenti tepat di depan pintu kamar Mahira. Kuhela napas panjang dan kubisikkan dalam hati, semua akan baik- baik aja, Aina.

Sesaat kuketuk pintu lalu membukanya. Berbarengan dengan ucapan salam yang terlontar dari bibirku.

"Ra," aku berseru senang. Mahira tersenyum tipis menatapku. Meski wajahnya masih terlihat pucat, itu terlihat lebih baik daripada melihatnya terpejam tanpa tahu kapan terbangun.

"Ai," suaranya pelan dan lirih membuatku sedih. Aku mendekati ranjangnya lalu memeluknya.

"Kangen," kataku dengan suara tercekat. Sungguh mendapati Mahira bangun membuat diriku teramat bahagia. Seumur hidup hanya dia sahabat terbaik yang pernah kumiliki.

Mahira mengangguk, matanya pun terlihat berkaca- kaca, "Aku juga kangen kamu,"

"Ai," aku mendongak. Budhe Ir tersenyum. Aku menghampirinya lalu menyaliminya, "Kamu ini besok pagi kan bisa, ini malam- malam loh."

Aku tersenyum tipis, "Aina kan pengen lihat Mahira, Bude,"

Budhe Ir mengangguk, "Ya udah! Makasih ya. Sepertinya kalian butuh waktu. Biar Budhe keluar dulu. Nyari Pakde kamu,"

Aku baru sadar tak ada kehadiran ayah Mahira di ruangan. Juga kakaknya. Tapi mungkin mereka sedang mencari udara segar di luar.

Isakan tangis terdengar sesaat setelah Ibu Mahira keluar. Aku menoleh dan mendapati Mahira sudah bersimbah air mata.

"A..a...anakku, Ai!"

Seketika aku merasakan kerongkonganku kering. Nafasku tercekat. Hatiku sakit. Ini yang kutakutkan, Mahira menanyakan anaknya.

"Aku merasa berdosa, Ai. Aku pernah merutukinya. Menyumpahinya bahkan pernah terpikir untuk aborsi. Ternyata Tuhan benar- benar mengambilnya. Hiks, aku ibu yang jahat, Ai."

Kutarik nafas dalam, mengusir sesak yang juga menghampiriku. "Sudah, Ra. Dia sudah tenang. Kamu harus ikhlas ya, Sayang. Tuhan pasti punya rencana indah untukmu, Ra."

"Ta...Tapi, Ai..."

"Sssstttt, udah! Jangan mikir macam- macam. Semua udah takdir. Kamu harus lebih kuat dan ikhlas. Mana Mahira yang aku kenal?"

Kuhapus air mata yang membasahi pipinya, "Everything will be Ok, Ra!"

Tiba- tiba pintu terbuka, membuatku dan Mahira menoleh bersamaan,

"Ai, ini Arga yang itu?"

Dahiku mengernyit mencoba memahami pertanyaan ayah Mahira yang tengah berdiri di depan pintu. Belum sempat aku bersuara, sosok tinggi dengan postur yang sangat akrab di mataku muncul dari belakang ayah Mahira.

Mataku terbelalak seketika, "Ar..ga!" Damn, aku melupakannya.

"Kamu tadi buru- buru amat. Sampai ninggalin aku," sungut Arga gusar. Dari rautnya jelas dia kesal, tapi saat ini bukan waktunya untuk meladeni dirinya. Ada hal lain yang justru kutakutkan.

"Jadi kalian datang bersamaan?" tanya ayah Mahira dingin. Aku terkesiap, tak pernah sekalipun menemukan lelaki itu berkata seperti itu.

Kuanggukkan kepala ragu, "I...Iya, Pakde!"

Senandung Cinta AinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang