"Dia menginap?"
Hoseok membalikkan dagingnya di atas api. Ia jilat jemarinya yang kotor terkena bumbu dan arang. "Tidak akan lama. Besok dia pulang."
Jinyoung melirik ke arah Jungkook yang duduk di bawah sebuah pohon, menghangatkan diri di dekat api unggun buatannya sendiri, jauh dari kerumunan orang-orang markas. "Apa yang dia mau darimu?"
"Tidak ada," jawab Hoseok cepat. Wajahnya yang bercahaya karena api sudah mulai hangat karena panasnya. Dagingnya belum matang dan Hoseok sudah kelaparan sejak tadi sore. Bisa-bisa ia meledak, terlebih ketika Jinyoung mengingatkannya pada percakapannya bersama Jungkook tadi siang.
Jinyoung seketika mengangkat alis. "Oh, ya? Tidak ada yang ia inginkan tetapi ia bisa membuatmu menangis seperti tadi?"
Hoseok mendecak. Ia betul-betul tidak ingin melihat ke arah Jinyoung melihat. Melihat Jungkook hanya akan membuat amarahnya kembali naik. "Dia hanya bertindak menyebalkan. Tidak pernah berubah sejak kecil."
"Kupikir kalian berteman baik? Bertiga bersama Raja."
Hoseok mendesah. Jinyoung memang tidak akan berhenti sampai semua rasa ingin tahunya terpenuhi. "Itu dulu. Kami sudah berjalan di jalan masing-masing."
"Tidakkah kau pikir kau terlalu keras padanya? Aku dengar Jungkook berkata bahwa kalian tidak pernah bertemu sejak umur sepuluh. Biasanya orang lain akan banyak berbincang-bincang saat ada momen reuni seperti ini."
"Aku bukan orang lain," tukas Hoseok cepat. Ia sorot tajam Jinyoung yang kemudian sedikit mundur, merasa terintimidasi. "Lagipula, aku sudah bicara dengannya tadi siang. Itu sudah lebih dari cukup."
Giliran Jinyoung yang menghela nafas keras-keras. "Baiklah. Kau tahu yang terbaik."
Keduanya menatap daging di atas api yang semakin cokelat. Lalu Jinyoung bersuara lagi. "Tapi aku masih berpikir ada urusan yang belum selesai di antara kalian berdua. Jungkook sudah datang jauh-jauh dari Timur kembali ke kerajaannya sendiri. Pasti ada hal penting yang tidak bisa ia serahkan pada orang lain, mengingat ia menjadi jenderal yang punya banyak bawahan di sana."
Hoseok tidak membalas lagi dari sana. Lalu, ia curi pandang Jungkook yang duduk santai sambil mengasah ujung pedangnya.
Mungkin Jinyoung benar.
Mungkin Jungkook ke sini karena ada hal penting yang tidak bisa ia delegasikan pada orang lain. Dan hal penting itu menyangkut tentang Hoseok, sobat masa kecilnya.
***
Jungkook baru saja menggelar alas tidurnya sebelum mendengar suara di luar tenda.
Menyisir poni panjangnya ke belakang, Jungkook berdiri seraya menggenggam pedang di pinggang. Sebelah tangan pun menyingkap pintu masuk tenda.
"Hoseok?"
Jung Hoseok berdiri di sana, dua tangan terlipat. Jika tidak banyak kunang-kunang yang beterbangan di dekat sana, Jungkook tidak akan bisa melihat rupa pria itu. Hoseok pun berdeham. Ia tunggu Jungkook keluar dari tendanya dan berdiri di hadapan. Sebuah senyum tak tertahankan muncul di wajah Jungkook.
"Kau berubah pikiran?" tanyanya. Tangan yang semula menggenggam erat gagang pedang karena refleks segera berpindah untuk dilipat di depan dada.
Daripada menjawab, Hoseok balik bertanya. "Jam berapa besok kau pergi?"
"Kau berubah pikiran?" Jungkook bersikeras bertanya.
"Jawab saja, Bodoh."
"Sebelum matahari naik," jawab Jungkook dengan senang hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
[jhs] Apprentice of Evil ✔
Historical FictionHoseok merelakan mimpinya untuk memenuhi wasiat sang Ayah. Namun, siapa sangka? Hoseok betul-betul dibuat bertekuk lutut oleh seorang gadis. Gadis kecil yang tampak tak berdaya itu tampak seperti monster. Namun, Hoseok tidak tahu dibalik semua itu...