Pagi itu, Meili sudah merasa jauh lebih baik.
Ia sudah bisa bangun dari tidur sendiri, merenggangkan tubuhnya, dan melenturkan otot lehernya tanpa bantuan orang lain.
Sang gadis pun memutuskan untuk keluar dari kamar. Di detik ia menginjak kayu di luar pintu, indera penciumannya mencium aroma sarapan yang sudah Anna buat. Buru-buru, ia melangkah menuju dapur.
"Selamat pagi!" ia menyapa.
Anna yang sedang menata meja makan untuk Meili langsung tersenyum. "Kau terlihat bahagia dan sehat. Lehermu baik-baik saja?"
Meili mengangguk. "Sepertinya aku sudah sembuh total," pamernya bangga. Kemudian ia duduk di depan sarapan yang dibuat khusus untuk satu orang saja di meja makan.
"Kau tetap harus hati-hati. Kau tidak tahu kapan lehermu bisa kram lagi," tegur Anna.
"Ya, ya. Aku tahu," katanya sembari mengambil sumpit.
Sarapan pagi itu sederhana. Semur kimchi dan telur gulung ditemani oleh bihun dan kacang hitam. Masakan rumah yang sederhana, tetapi serius meredakan rasa lapar dan membuat bahagia.
"Omong-omong, Hoseok pergi subuh ini."
Potongan telur gulung yang diapit oleh sumpit Meili langsung jatuh kembali ke piringnya. Senyum di wajah Meili lenyap.
Anna perhatikan tiap perubahan pada wajah Meili. Lalu ia bertanya lagi, "Apakah kepergiannya adalah ulahmu?"
Berusaha mengontrol ekspresinya, Meili kembali memungut telur gulung yang jatuh dan melahapnya. "Aku tidak berulah. Hoseok hanya sudah selesai dengan belajarnya. Dia siap menggantikan ayahnya."
Anna duduk tidak jauh dari Meili. Ia menatap khawatir ke arah Meili. "Jika aku tidak salah informasi, bukankah Hoseok sudah punya rencana lain? Dan rencana itu bukan menjadi jenderal ataupun kembali ke teater."
Meili mengunyah cepat-cepat. Rasanya sarapan yang lezat itu menjadi masam. Anna salah besar mengungkit tentang Hoseok sekarang. "Dia melupakan kewajibannya. Tidak seharusnya dia bersikap delusional."
"Hoseok lebih nyaman berada di sini bersamamu, Meili. Seharusnya kau tidak bisa memaksakan Hoseok apa-apa yang tidak diinginkannya," tegur Anna lembut.
"Lalu apakah aku menginginkan Hoseok berlama-lama di sini? Mengapa kalian suka sekali berdiskusi dan memutuskan sendiri?"
Keduanya sudah bertukar tatap sekarang. Anna sanggup melihat bagaimana manik Meili memerah. Dia tampak marah. Anna pun mendesah.
"Untuk pertanyaan pertama, mungkin kau bisa tanyakan sendiri pada dirimu, Mei."
Meili berkedip. Bibirnya mengatup. Lalu pandangannya dialihkan untuk melanjutkan sarapan.
"Kau juga memutuskan sendiri untuk Hoseok," lanjut Anna. "Baik aku ataupun Hoseok tidak pernah bertanya karena kau sedang sakit. Tapi kami tidak tahu perasaanmu setelah dendammu terbalaskan. Apakah kau bahagia setelah kematian Ratu itu? Apakah kau puas? Lalu, setelah dendammu selesai, apa yang akan kau lakukan? Apakah kau sudah memikirkan itu?"
Meili masih memilih untuk bungkam. Ia lanjutkan sarapannya dengan manik berkaca-kaca dan penuh amarah.
"Mei," panggil Anna lembut. Ia sudah berdiri, tampak hendak pergi untuk mengurus hal lain. "Jika kau sudah tahu apa rencana Hoseok, seharusnya kau tahu bahwa rencana itu bukan untuk Hoseok pribadi semata. Rencana tersebut juga merupakan sebuah masa depan yang lebih baik untukmu."
Sumpit Meili berhenti bergerak. Kunyahan mulutnya pun memelan.
"Tolong pikirkan kembali matang-matang," begitu pesan Anna sebelum pergi meninggalkan Meili yang telah menitikkan air mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
[jhs] Apprentice of Evil ✔
Historical FictionHoseok merelakan mimpinya untuk memenuhi wasiat sang Ayah. Namun, siapa sangka? Hoseok betul-betul dibuat bertekuk lutut oleh seorang gadis. Gadis kecil yang tampak tak berdaya itu tampak seperti monster. Namun, Hoseok tidak tahu dibalik semua itu...