"Kupikir kita sudah mulai latihan?"
Meili menaikkan alis. "Tentu saja. Kemari."
Mata Hoseok memicing seiring dengan langkahnya masuk. Itu adalah ruangan kerja Meili, atau mungkin mirip seperti ruang melukis. Gadis itu sedang duduk di depan sebuah kanvas, lagi-lagi sedang menggambar sketsa.
"Duduk di sana."
Meili menunjuk meja rendah di tengah ruangan. Ada secarik kertas putih di sana dan kotak wadah tinta. Hoseok pun mengikuti perintahnya dan duduk di hadapan kertas.
"Duduknya yang tegak."
Kening Hoseok spontan mengerut dan mulut menggerutu. Padahal Meili tidak melihatnya sama sekali. Namun, Hoseok tidak mengeluarkan suara protes apapun. Ia langsung menegakkan punggungnya.
"Hari ini," Meili menaruh kuasnya di kaleng cat dan turun untuk duduk di hadapan Hoseok. "Kau akan belajar kaligrafi."
"Kenapa?"
Meili tahu Hoseok pasti akan bertanya. Gadis itu hanya menyilangkan tangan di depan dada dan menjawab, "Aku gurumu. Sesukaku ingin mengajar apa."
"Apa? Itu tidak masuk akal! Aku ke sini untuk belajar--!"
Tak!
Tongkat tipis keluar dari lengan baju Meili dan disentakkan ke dahi Hoseok. "Aw!" Pria itu mengaduh. Dua tangan memegangi dahi.
"Jangan menaikkan suara di hadapanku, Jung."
Hoseok menatap gadis itu tidak suka. Yah, Hoseok memang tidak pernah suka dengan gelagat gadis ini. "Mengapa kau suka sekali memukulku?!"
"Aku akan berhenti jika kau berhenti berlaku hal yang tidak kusuka."
Pagi-pagi sekali Hoseok sudah mendidih. Dadanya naik turun akibat tarik-ulur napasnya yang kasar.
Ia ingin sekali memberontak dan membanting semua barang di sana. Tapi ia tahu ia tidak boleh. Dan caranya agar ini semua cepat selesai adalah dengan menurut. Walau Hoseok sangat tidak menyukainya.
"Baiklah! Sekarang katakan padaku apa yang harus aku lakukan."
Di luar dugaan, Meili tersenyum. Senyum yang... terlalu indah untuk Hoseok, sebetulnya.
"Bela diri bukan hanya tentang menyerang, tetapi juga tentang menorehkan identitasmu." Meili memulai. "Siapa dirimu, bagaimana kepribadianmu, itu semua akan tampak di medan perang nanti. Sebelum kau pergi ke sana, kita mulai dari secarik kertas dulu."
Hoseok memerhatikan tangan Meili yang kurus mengambil kuas di samping kertas dan memberikannya pada Hoseok. Saat Hoseok menerima kuas dengan satu tangan, Meili menarik tangannya yang satu lagi dan menuntun Hoseok untuk memegangi ujung pakaiannya. "Agar tidak kotor kena tinta," katanya.
"Tinta sudah digerus, jadi kau tidak perlu capek-capek lagi. Sekarang, tulis namamu."
"Namaku?" Hoseok mengulang.
Meili menatap Hoseok yang sudah lebih dulu menatap. "Ya. Namamu. Dengan hanja."
"Dengan hanja?" Hoseok mengulang lagi.
"Kau bisa, kan?"
"Um," tegukan ludah di kerongkongan Hoseok terdengar jelas.
Meili pun menghembuskan napasnya jengah. "Setidaknya namamu. Kau tahu cara menuliskannya, kan?"
"Ti-Tidak terlalu..."
Lagi-lagi, Meili membuang napas. Sebelah tangan mengusap jembatan hidungnya. "Baiklah. Berikan itu padaku."
KAMU SEDANG MEMBACA
[jhs] Apprentice of Evil ✔
Ficción históricaHoseok merelakan mimpinya untuk memenuhi wasiat sang Ayah. Namun, siapa sangka? Hoseok betul-betul dibuat bertekuk lutut oleh seorang gadis. Gadis kecil yang tampak tak berdaya itu tampak seperti monster. Namun, Hoseok tidak tahu dibalik semua itu...