THIRTY FOUR

440 128 63
                                    

Meili sedang mengaplikasikan riasan wajahnya untuk menutupi bekas lukanya di leher yang sulit sekali hilang. Sesekali ia meringis karena rasanya masih sangat nyeri. Pergerakan kepalanya masih terbatas karena kerusakan pada tulang leher dan rahangnya belum betul-betul pulih.

Baru menutupi setengah bagian saja sudah membuatnya lelah. Rasanya frustasi ketika tubuhnya tidak bisa bebas digerakkan. Banyak hal yang Meili masih perlu bantuan Anna, dari bangun tidur sampai tidur lagi.

Meili mendesah ketika riasannya belepotan. Ia pun menyerah dengan menutup rapat kotak riasannya rapat-rapat. Lalu ia coba berdiri.

"Akh!"

Pekikannya terdengar kencang karena sekarang lehernya perih dan terasa kram. Bokong langsung jatuh kembali ke atas kursi meja riasnya. Mulutnya kemudian mengeluarkan isakan karena rasanya sangat sakit tak tertahankan. Belum pernah Meili mengalami sakit yang seperti ini.

Tubuhnya membeku di depan cermin, tidak bisa digerakan. Air matanya jatuh akibat kesakitan.

Kemudian terdengar gaduh dari luar. Gaduh itu berasal dari suara langkah kaki yang tergesa-gesa, semakin lama semakin dekat. Lalu pintu kamarnya dibuka.

"Meili?!"

Meili masih bercucuran air mata. Pandangannya kabur. Ia tidak tahu siapa yang datang. Yang dia tahu hanyalah seseorang berlutut di bawah kakinya sambil menekan jemari mereka di tengkuk Meili dengan maksud untuk meredakan kramnya.

"Ssh.. Tenang. Aku ada di sini. Kau akan baik-baik saja."

Napas Meili menjadi putus-putus akibat sesenggukan. Sekarang dia tahu siapa yang datang.

"Sakit, Seok," Meili mengeluh. Sebelah tangan bergenggaman erat dengan tangan pria yang lebih besar darinya. "Aku kesal. Aku tidak bisa melakukan apa-apa. Sudah hampir dua minggu dan aku masih tidak bisa melakukan apa-apa."

"Shush. Hei. Jangan bilang begitu. Semuanya berproses. Kau sedang melakukan prosesnya dengan baik. Kau pasti sembuh." Begitu kata Hoseok untuk menenangkan.

Bibir Meili masih menekuk. Hoseok pun terus memijat tengkuknya dengan lembut. Keduanya diam tak bersuara. Sementara tangan mereka masih bergenggaman erat.

"Sudah membaik?" tanya Hoseok.

Meili tidak menjawab. Gadis itu hanya menyingkirkan tangan Hoseok dari tengkuknya lalu genggaman tangan keduanya lepas. Air mata Meili pun berhenti, meninggalkan jejak di pipinya yang merah.

Hoseok tersenyum simpul. "Aku lega, jika sudah membaik."

"Aku mau duduk di kasur," kata Meili tanpa menggubris Hoseok sama sekali.

Lelaki di hadapannya menuruti keinginan Meili tanpa protes. Hoseok bantu Meili berdiri, menuntunnya sampai kasur, lalu didudukkan pelan-pelan ke kepala ranjang. Hoseok pastikan posisi kepala Meili ada dalam posisi yang aman dan nyaman untuk sang gadis.

"Posisinya sudah enak?" Hoseok kembali bertanya. Ia masih memegangi kepala Meili, khawatir dia jatuh atau melukai dirinya lagi.

"Kau boleh pergi," ucap Meili sembari menepis tangan Hoseok jauh-jauh darinya.

Hoseok tak bisa menahan helaan napas beratnya. Meili memang tidak berubah. Sikapnya terlalu dingin untuk seorang gadis yang sedang sakit dan membutuhkan bantuan kemana pun dia pergi.

Hoseok sendiri sudah terlalu baik. Sampai-sampai Hoseok mengira Meili sering sekali memanfaatkannya.

Hari ini, detik ini, Hoseok putuskan untuk tidak menurut.

"Aku tidak mau pergi," kata Hoseok sambil menyimpan bokongnya di tepi kasur, di sebelah Meili.

Gadis di hadapannya langsung menatap Hoseok tajam. "Apa katamu?"

[jhs] Apprentice of Evil ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang