Outro: My Name

702 129 87
                                    

Seorang remaja lelaki memacu kudanya di tengah-tengah salju putih pegunungan Alps. Di punggungnya terdapat busur dan sekantung anak panah.

Pacuannya berhenti ketika ia mencapai mulut hutan yang lebat dan gelap. Ketika ia melihat ke belakang, ayahnya yang gagah menyusul dari kejauhan.

"Jung Wooseok!" ia dipanggil.

Wooseok langsung mendengus. Kebiasaan sekali ayahnya memanggil namanya kencang-kencang di tengah gunung bersalju itu. Suara sang ayah akan langsung menggema di seluruh lembah dan Wooseok hanya bisa bersyukur bahwa hanya keluarganya saja yang tinggal di sana.

"Ayah, sudah berapa kali kubilang, tidak perlu teriak-teriak jika ingin memanggil namaku!" keluhnya ketika sang ayah, Jung Hoseok, telah menghentikan laju kuda di hadapannya.

Hoseok menyengir lebar. "Aku suka mendengar nama anakku menggelegar di seluruh gunung. Semua orang harus tahu siapa anakku yang paling keren."

Wooseok menghindar saat Hoseok ingin mengacak rambut coklatnya. "Aku anak ayah satu-satunya! Tidak ada lagi yang lebih keren dari aku."

Terdengar decakan halus dari mulut Hoseok. "Mengapa kau galak sekali pada ayahmu? Seperti ibumu saja."

"Aku anak ibuku. Tentu saja aku mirip ibuku."

"Tapi wajahmu adalah cetakan wajahku!" elak Hoseok tak terima. "Tidak ada satupun dari tubuhmu yang berteriak 'Hwa Meili' dan aku kesal!"

"Ayah, kau sudah mengeluhkan hal itu selama tiga belas tahun hidupku." Wooseok mengingatkan dengan jengahnya. "Jika ingin punya anak yang memiliki karakter seperti dirimu, buat anak lagi saja dengan Ibu."

Hoseok terkesiap. "Haruskah?" tanyanya semangat. Tapi ekspresinya langsung jatuh saat ia melanjutkan, "Ah, tapi aku sudah mencobanya berkali-kali beberapa tahun belakangan ini dan ibumu--"

"Stop!! Aku tidak mau dengar," potong Wooseok tajam-tajam. Mukanya sudah sangat jengkel. "Katakan saja padaku apa yang harus kulakukan di hutan ini."

Seolah tersadar, Hoseok langsung menepuk tangannya satu kali. "Ah, iya. Terima kasih sudah mengingatkan."

"Aku hanya perlu kau masuk ke dalam, memburu seekor beruang, dan membawanya pulang," jelas Hoseok dengan ekspresi cerah. "Mudah, bukan?"

"Beruang?!" Wooseok memandang ayahnya tak percaya. "Ayah, aku bukan Paman Jungkook! Aku tidak bisa membunuh beruang dan membawanya pulang seorang diri. Aku masih tiga belas tahun!"

"Ya, aku tahu karena aku sudah memberimu hadiah ulang tahun tiga belas kali." Hoseok mengangguk-angguk. "Dan aku tidak sedang membandingkan dirimu dengan Jungkook. Kau spesial dengan dirimu sendiri. Aku tahu kau bisa. Oke?"

"Tidak! Tidak oke!" Wooseok membantah lagi. "Ayah, kumohon, aku janji akan lakukan apapun, asalkan bukan ini!"

"Maafkan aku, Wooseok. Tapi ini sebenarnya adalah perintah ibumu." Hoseok memasang wajah prihatin. "Aku akan menunggumu di teras rumah. Oke? Semoga berhasil!"

"Ap-Apa? Kukira setidaknya kau akan menungguku di-- Ayah!!"

Teriakan memelas Wooseok tertelan angin yang berhembus karena Hoseok sudah memacu kudanya kembali ke jalan pulang. Wajah Wooseok sudah pucat sekarang.

Ia tidak mungkin kembali dengan berhasil.

Namun, Wooseok sendiri tahu, jika tugas ini datang dari ibunya, maka ia harus berhasil. Jika tidak, mungkin Wooseok harus menghabiskan dua sampai tiga malam tidur di halaman rumah yang diselimuti salju.

Ia memandang ke dalam hutan yang gelap itu. Jika boleh jujur, Wooseok tak pernah suka jika harus diminta masuk ke dalam sana. Entah mengapa, Wooseok merasakan ada sesuatu yang janggal, yang membuat bulu kuduknya berdiri seluruhnya.

[jhs] Apprentice of Evil ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang