THIRTEEN

795 171 69
                                    

Dini hari. Badai sudah berhenti. Namun, dinginnya malam seolah tak kenal ampun.

Langit masih gelap dan Meili belum tidur. Walau terkantuk-kantuk, Meili tahu tubuhnya belum mau tidur.

Akhirnya ia bangun dari duduknya, pergi ke ruang melukis.

Meili memungut sejumlah kertas baru dan batu grafit murni sebagai alat lukisnya. Lalu ia kembali ke kamar Hoseok.

Gadis tersebut duduk menyila di tempat sebelumnya. Setelah mengganti lilin yang habis, ia gunakan sumber cahaya tersebut sebagai bahan penerangan.

Mengamati Hoseok, Meili mulai menggambar.

Membuat sketsa Hoseok yang sedang berbaring menggunakan selimut sama sekali tidak menyulitkan. Tangannya sudah bisa membuat outline rambut halus dan bergelombang itu.

Namun, saat Meili harus membuat sketsa wajah, ia berhenti.

Tubuhnya sedikit dimajukan dan lilinnya ia coba dekatkan ke wajah Hoseok.

Meili memicingkan mata, berusaha memetakan wajah Hoseok di kepalanya.

Tidak semudah yang Meili kira.

Ia majukan wajahnya lagi. Kali ini jarak antara Meili dan wajah Hoseok sudah kurang dari satu jengkal. Gadis tersebut pun mulai menelusuri fitur wajah Hoseok satu per satu.

Garis mata melengkung, hidung tirus, dan bibir menyerupai bentuk hati. Tidak lupa dengan tahi lalat mungil di atas bibir tersebut.

Oke. Mungkin Meili bisa melakukannya sekarang.

Dimulai dari bibir, yang paling dia ingat.

Batu grafit bergerak cepat di tangannya. Jemari Meili sudah mulai kotor lagi. Ia ciptakan sebuah bentuk bibir yang ia pikir sangat indah untuk mulut Hoseok. Lalu segera ia bubuhkan tahi lalat kecilnya.

Meili menjauhkan wajahnya dari kertas untuk sesaat. Lalu matanya berpindah kembali ke wajah Hoseok.

Bibir yang ia buat dan yang sekarang ia lihat sangat jauh berbeda.

Keningnya langsung membuat kerutan.

"Ini bukan Hoseok," gumamnya sembari menghapus bentuk bibir yang barusan ia gambar di atas kertas.

Ia coba lagi. Kali ini dengan berganti-gantian memandang antara Hoseok dengan kertas di pangkuannya.

Hanya saja, berapa kali pun Meili melihat, wajah Hoseok seperti terus menerus berubah di matanya. Ia tidak bisa menemukan garis final. Apa yang Hoseok punya sangat sulit bagi Meili untuk melukiskannya.

Hingga kertasnya sobek, Meili membeku. Ia sudah berkali-kali menghapus sehingga mengikis kertas tipis itu.

Merasa kesal, Meili menarik kertas karu. Tangannya yang kotor kembali membuat sketsa.

Padahal Hoseok hanya diam tak bergerak di futonnya, tetapi rasanya sangat sulit bagi Meili untuk melukisnya.

Terutama wajahnya.

Meili mendekatkan wajahnya, mencari fitur wajah Hoseok yang bisa ia gambar.

Tapi lagi-lagi ia kesulitan. Semakin Meili fokus, semakin wajah Hoseok buram di matanya.

Ini tidak masuk akal. Selalu begini. Mengapa Meili tak pernah bisa membuat wajah?

Sekali lagi ia mencoba di kertas baru.

Lalu lagi.

Lagi dan lagi.

Air matanya sudah berurai sekarang. Bukannya melukis membuat tenang, Meili malah merasa frustasi sekarang.

[jhs] Apprentice of Evil ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang