Hoseok bangun ketika kelopak matanya ditampar oleh cahaya mentari yang masuk dari jendela.
Ia merenggut marah pada bintang tersebut karena sudah mengganggu tidurnya. Dapat Hoseok rasakan bagaimana kepalanya seolah sedang dipukul-pukul keras, bibir kering, dan kandung kemih siap meledak.
Hoseok hanya mendesah karena kondisi tubuhnya membuat kantuknya hilang. Ia terlentang menghadap plafon di atas, berkedip ketika kepalanya berputar.
Ia mabuk parah tadi malam. Semua memori melekat di kepala.
Bahkan saat ia mencium Meili lagi, kali ini dengan sengaja.
Hoseok mengerang. Dua tangan mencengkeram rambut hitamnya. Mulut berbisik, "Aku sangat bodoh," berkali-kali.
Ia ingat ciuman itu. Ciuman penuh paksaan. Ciuman yang diakibatkan oleh kefrustasian Hoseok. Ciuman yang membuat matanya lebam sekarang.
Namun, berbeda dengan sebelumnya, ciuman itu berhasil bertahan melalui lima detik dari ciuman pertama. Hoseok bahkan sempat memberi sang gadis kecupan kedua dan menciumnya sungguh-sungguh. Menekan tengkuknya dan mengusap pinggangnya, Hoseok masih sempat.
Kesadaran diri Meili datang terlambat. Gadis itu menonjok matanya kali ini dan menendang perutnya sampai Hoseok jatuh. Baru ia berlari dari pandangan Hoseok yang kabur.
Hoseok akui dia bodoh. Terlalu bodoh, malah. Hoseok hanya merasa frustasi akibat sikap Meili selama ini dan bayangan bahwa teater membutuhkannya dalam waktu dekat benar-benar membuat kepala Hoseok pusing.
Hoseok tahu ia belum siap dan belum selesai di sana. Tapi Hoseok harus pergi, jadi alam bawah sadarnya memaksa Hoseok untuk berbuat onar sebelum benar-benar enyah dari rumah itu.
Hoseok masih ingin berbaring. Sisa mabuknya masih berenang-renang di kepala dan ulah Meili pada wajahnya betul-betul membuat Hoseok tidak mau bergerak.
Namun, kandung kemih Hoseok yang memaksanya bangun dan ke kamar mandi, melepas penat akibat minum banyak alkohol semalam.
Kakinya melangkah ke dapur karena ingin minum. Bagaimanapun, kerongkongan sampai bibirnya mengering.
Sebetulnya, ini terlalu siang. Hoseok bangun lebih siang daripada biasanya. Biasanya, jika Hoseok terlambat, Meili akan meneriakinya dan melempari wajahnya dengan bola salju dari halaman.
Namun suasana rumah terlalu sepi.
Hoseok berjalan dengan mata setengah terbuka. Di dapur, ia menemukan meja makan sudah siap dengan sarapan untuk satu orang.
Anna baru pulang dari belanja saat Hoseok menenggak semangkuk air bersih dari kendi. Salju turun cukup lebat di luar sehingga wanita berambut pirang tersebut berlumur salju.
"Dimana Meili?" adalah pertanyaan Hoseok yang pertama.
Anna yang baru melepas semua mantel terluarnya melirik Hoseok sebentar, lalu ia menggantungkan pakaiannya di punggung kursi.
"Dia pergi," jawabnya. Dua tangan Anna penuh dengan belanjaan dan wanita tersebut mulai beres-beres di meja pantry.
"Kemana? Sampai kapan?"
Anna menunjukkan punggung saat Hoseok mulai menyantap sarapan. "Tidak tahu. Dia tidak bilang," jawabnya lagi.
Kening Hoseok mengerut. Dengan mulut penuh nasi, ia kembali bertanya, "Dia tidak akan kembali?"
"Meili tidak bilang. Aku tidak tahu apapun. Dia pergi begitu saja."
Kata-kata Anna spontan mengirim hantaman ringan bagi dada Hoseok. Napas si pria melambat. Sumpit otomatis diturunkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
[jhs] Apprentice of Evil ✔
Historical FictionHoseok merelakan mimpinya untuk memenuhi wasiat sang Ayah. Namun, siapa sangka? Hoseok betul-betul dibuat bertekuk lutut oleh seorang gadis. Gadis kecil yang tampak tak berdaya itu tampak seperti monster. Namun, Hoseok tidak tahu dibalik semua itu...