Tangan Hoseok betul-betul kosong. Selain pisau kecil milik Meili di balik sepatunya, Hoseok tidak punya apa-apa. Namun, ia tetap mendekati istana utama. Di sana banyak sekali pengawal yang menjaga. Hoseok tidak mungkin bisa masuk dengan mudah.
Ia berhenti dengan napas tersengal-sengal tidak jauh dari benteng istana. Area itu tampak luas dan akan sangat melelahkan jika Hoseok berlari menyusurinya. Hoseok bahkan tidak tahu persis kemana arah pergi Meili.
Hingga Hoseok melihat segerombolan orang sedang mengerumuni seorang pria paruh baya yang sedang membagikan pepaya. Hoseok tidak sadar dirinya memerhatikan sampai ia dipanggil oleh si tukang pepaya.
"Hai, Anak Muda. Mau buah pepaya untuk keluargamu di rumah?" pria paruh baya tersebut menyodorkan sebuah pepaya berukuran sedang yang sudah tampak sangat matang.
Hoseok melempar senyum dan menolak halus tawaran itu. "Aku sedang dalam perjalanan, jadi aku tidak bisa membawa jinjingan bersamaku," katanya lembut.
"Oh, sayang sekali." pepaya di tangan tukang pepaya itu diberikan kepada orang lain yang sudah mengantri. "Padahal pepaya ini gratis. Di zaman ini, sulit sekali mendapatkan barang gratis."
Hoseok hanya bisa melempar senyum. Ia sedang tidak bisa menciptakan obrolan. Kepalanya sedang dipenuhi pertanyaan kemana Meili pergi tengah malam begini.
"Oh, kau mengenakan pakaian yang mirip seperti gadis yang membeli semua pepayaku barusan." si tukang pepaya angkat bicara lagi. Pepayanya sudah hampir habis.
Hoseok mendengarnya, tentu. Tapi dia tidak yakin dengan apa yang didengarnya. Keningnya langsung mengerut. "Maaf? Apa katamu tadi?"
"Pepayaku gratis karena ada yang membelinya barusan. Aku bertemu gadis itu di dekat benteng istana. Pakaian yang dia pakai mirip denganmu. Hanya saja, mungkin, jika aku tidak salah melihat, warna biru langitmu adalah merah muda di pakaiannya."
Mata Hoseok membelalak. Segera ia memegang bahu sang penjual pepaya dan menanyakan, "Apakah gadis itu setinggi bahuku? Rambut hitam sepinggang dan mata cokelat?"
Pria setengah baya itu tidak tampak terganggu dengan reaksi Hoseok yang histeris. "Mungkin? Maksudku, aku bertemu dia di tempat yang gelap sehingga aku tidak begitu menangkap fiturnya. Tapi aku yakin dia bukan orang sini karena irisnya gelap."
"Oh, astaga! Itu Meili!" Hoseok berseru, menimbulkan sebuah senyum dari penjual pepaya yang sudah berhasil mengosongkan jualannya.
"Terima kasih!" Hoseok membungkuk dalam-dalam. "Jika aku boleh tahu, kemana dia pergi setelah bertemu denganmu?"
"Dia menanyakan tentang lokasi penjara bawah tanah. Letaknya ada di belakang istana. Kau bisa menemukannya jika menyusuri benteng. Tapi hati-hati untuk tidak tertangkap. Pengawal istana seringkali melakukan keliling."
Hoseok tak bisa menahan senyumnya. Ia membungkuk berkali-kali sebagai ungkapan rasa terima kasih. Lalu ia langsung melesat ke arah yang ditunjuk.
***
Beruntungnya Meili malam hari itu. Ia merasa perjalanan menuju mangsanya sangatlah lancar. Terutama sekarang ketika ia sanggup melihat jejak-jejak kaki yang masih baru di mulut hutan.
Malam itu gelap, tetapi rembulan bersinar lebih terang dari biasanya sehingga Meili masih sanggup melihat jalan ke depan. Jejak kaki di lumpur, ranting patah bekas terinjak, lalu suara napas tersengal seseorang yang Meili tahu bukan miliknya.
Meili menjaga jarak yang cukup. Ia tahu ia sudah dekat dengan mangsanya. Dari kejauhan, ia melihat seorang pria yang sedang menggendong seorang wanita, berjalan tanpa arah.
KAMU SEDANG MEMBACA
[jhs] Apprentice of Evil ✔
Historical FictionHoseok merelakan mimpinya untuk memenuhi wasiat sang Ayah. Namun, siapa sangka? Hoseok betul-betul dibuat bertekuk lutut oleh seorang gadis. Gadis kecil yang tampak tak berdaya itu tampak seperti monster. Namun, Hoseok tidak tahu dibalik semua itu...