Hoseok menyimpan dua tangan di dalam saku. Melihat jalanan yang ramai dan terang benderang membuat senyumnya mengembang.
"Hei, bukankah ini bagus? Kita datang di saat yang tepat karena mereka sedang mengadakan festival musim gugur," kata Hoseok. Moodnya sedang bagus, ditambah dengan suasana festival yang meriah membuat Hoseok tenang dan bahagia.
"Ada banyak hal yang bisa kita lakukan di sini. Kamu ingin melihat apa du--"
Kata-kata Hoseok terputus. Ia melihat ke belakang dan gadis yang ia bawa ke kota malah bergerak ke pinggir dari keramaian untuk mengasah sebuah pisau.
"Hei, sudah kubilang jangan membawa senjata!" Hoseok menghampiri sang gadis dan mengambil pisaunya.
"Hei!" Meili juga ikut berteriak. Matanya berkilat marah, tak terima ketika pekerjaannya diinterupsi.
"Aku melarangmu membawa pedang bukan berarti membolehkan membawa pisau. Kita sedang berada di tanah asing. Jangan bersikap seperti ancaman untuk orang lokal." Hoseok memasukkan pisau itu ke dalam sepatunya, menjaga supaya aman.
"Aku tidak bersikap seperti itu!" Meili coba untuk membela diri. "Kamu tahu aku tidak pernah bertemu keramaian dan membawa pedang atau pisau adalah sebuah bentuk perlindungan diri!"
Hoseok menggeleng. Lalu ia menautkan jemarinya dengan Meili, menariknya masuk ke dalam festival lebih jauh lagi.
"Ada aku di sini. Aku bisa melindungimu. Sekarang diam dan cobalah untuk menikmati malam ini," kata Hoseok.
Sementara Meili masih memasang wajah tidak suka. Lama-lama mereka tenggelam di antara kerumunan orang. Tanpa sadar, Meili langsung merapat dengan Hoseok. Jantung berdegup kencang akibat panik.
Meski begitu, Meili tetap mendengus. "Apakah kita harus bergandengan tangan?"
Hoseok terkekeh mendengar pertanyaan Meili dari balik bahunya. Gadis itu sudah jelas ketakutan tapi masih mencoba protes untuk jauh-jauh dari Hoseok.
"Harus, karena aku harus menjagamu agar kamu tidak macam-macam," begitu jawaban Hoseok sambil mengeratkan genggaman tangannya.
Hoseok pun iseng melihat ke sebelah kanan, melihat Meili yang merapat dengannya dengan air muka ketakutan. Senyum jenakanya mengembang.
"Atau silakan saja kalau kamu ingin hilang di dalam lautan manusia ini." Tiba-tiba Hoseok menarik tangannya agar genggaman tangan mereka lepas.
"Ah, tidak! Ma-maafkan aku." Meili mengejar tangan Hoseok seperti seorang anak kecil yang mengejar balon yang terbang. Sekarang dua tangan penuh keringat dingin mencengkeram Hoseok kuat-kuat. "Jangan tinggalkan aku."
Hoseok tersenyum puas. Ia pun memperbaiki genggaman tangan mereka supaya lebih nyaman dan aman. "Oke," katanya.
Mereka pun akhirnya berhasil melalui kerumunan orang dan bisa berjalan sampai bagian festival yang tidak begitu sesak. Kerumunan orang itu sedang menonton sebuah pertunjukan teater. Hoseok memperhatikan, tentu saja. Dan betul dugaannya, teater itu berasal dari teaternya dulu di Selatan. Hoseok mengenal beberapa krunya.
Tapi Hoseok tidak mampir karena Meili yang gemetaran di sampingnya. Mereka hanya melintas dan sampai di sebuah kios yang menjual makanan ringan.
"Mau?" Hoseok menunjuk gerobak yang menampilkan berbagai jenis makanan. Meili di samping langsung memerhatikan.
"Kamu punya uang?" Meili bertanya balik.
"Tentu saja. Kamu pikir aku sebodoh itu keluar rumah tanpa membawa uang?"
Meili mendengus. "Aku 'kan hanya bertanya."
Hoseok adalah yang pertama bicara pada penjual. Ia menunjuk satu hidangan berupa olahan daging dan kue beras yang ditusuk menjadi satu lalu dibalur oleh saus cabai. Meili tidak pernah mencoba jajanan seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
[jhs] Apprentice of Evil ✔
Historical FictionHoseok merelakan mimpinya untuk memenuhi wasiat sang Ayah. Namun, siapa sangka? Hoseok betul-betul dibuat bertekuk lutut oleh seorang gadis. Gadis kecil yang tampak tak berdaya itu tampak seperti monster. Namun, Hoseok tidak tahu dibalik semua itu...