NINE

820 187 33
                                    

Sampai matahari terbenam, Meili masih belum puas dengan hanja yang Hoseok tulis.

Pada sore menjelang malam itu, Meili memerhatikan dari luar saat Hoseok tidak melihat. Dua tangan pria itu sudah bersimbah tinta. Di sekeliling tempatnya duduk, berserakan remukan dan sobekan kertas, menandakan kegagalan Hoseok yang tiada ujung. Pada wajahnya pun berlinang air mata.

Hoseok sudah menangis dari siang. Walau begitu, ia tetap gigih mengerjakan. Meski Meili menolak tiap karyanya tanpa ekspresi. Meski Meili tak memberinya waktu istirahat.

Ketika Hoseok menyeka air mata menggunakan lengan bajunya, tinta hitam mengotori wajahnya. Bahkan pakaiannya juga terkena noda tinta.

Dua tangannya sudah gemetaran. Meili melihat beberapa kali Hoseok mengganti tangan karena lelah dengan satu tangan. Tapi Hoseok tidak berhenti.

Sempat Meili bertanya, "Kau menyerah?"

Tapi Hoseok hanya menatapnya tajam dengan mata merah dan berurai air mata. Mulutnya tak mengeluarkan suara selain isakan pelan. Ia hanya terus melanjutkan usahanya menulis hanja namanya sendiri.

Anna sudah berkali-kali menegur Meili bahwa Hoseok butuh istirahat. Ia hanya makan sarapan. Bahkan saat Anna berinisiatif untuk membawakan meja makanan ke dekat tempat duduknya, Hoseok tidak menyentuhnya sama sekali. Minum satu teguk pun tidak.

Hoseok hanya keras kepala, begitu komentar Meili. Ia biarkan Hoseok melakukan hal yang ia mau. Meili tahu harga diri Hoseok sedang dicabik-cabik. Tidak ada pria yang suka ketika seorang gadis mengontrol mereka. Itulah mengapa Hoseok tidak mau berhenti. Ia tidak mau disebut lemah.

Padahal Meili tak ada niatan begitu. Ia juga sebetulnya tidak masalah jika Hoseok istirahat sebentar. Ia bahkan tidak melarang Anna saat membawakan makanan. Mungkin Meili memang keras, tetapi ia bukan berniat menyiksa.

Terserah pada Hoseok jika ia tidak mau istirahat. Itu konsekuensi yang ia bawa sendiri.

Sampai langit gelap pun, berapa kali pun Hoseok menyerahkan hasil kerjanya, Meili tetap tidak puas.

Ketika terdengar suara kuas jatuh ke lantai, Meili menengok. Gadis itu sedang melukis, seperti biasa. Lukisannya dijeda saat mendengar Hoseok merintih di belakangnya.

Itu Hoseok. Wadah tinta dan kuasnya jatuh ke lantai, mengotori tikar yang dibuat dari anyaman bambu di bawahnya. Dua tangannya bergetar hebat dan Hoseok meringis karena ia tak bisa mengambil kuas di lantai, entah mengapa.

Meili masih melihat bahkan ketika Hoseok menangis lagi. Sepertinya air matanya jatuh pun Hoseok tidak sadar, saking banyaknya ia menangis pada hari itu. Pria itu memijat-mijat telapak tangannya yang kaku sebelum berusaha mengambil. Padahal kuasnya tidak menggelinding terlalu jauh, tetapi seluruh tubuhnya mungkin kaku sehingga Hoseok tidak bisa meraihnya.

Sampai Meili muak melihatnya.

Gadis itu beranjak pergi dari ruangan itu, meninggalkan Hoseok berurusan dengan kuas dan tinta yang tumpah.

Namun, ia kembali lagi dalam waktu singkat, membawa sebuah nampan berisi dua wadah air dan kain bersih.

Meili simpan nampan itu di dekat Hoseok. Ia singkirkan meja tulis Hoseok ke pinggir agar ia bisa duduk di hadapan Hoseok.

Dengan mata membulat, Hoseok memerhatikan. Meili tak membuka mulut sama sekali. Gadis itu menaruh wadah air di antara keduanya dan mengambil tangan kanan Hoseok.

Hoseok memekik saat Meili melakukan hal demikian. Namun rasanya sakitnya mereda saat telapak tangannya menyentuh air di dalam salah satu wadah.

Meili membersihkan tiap noda tinta di sana sambil memijat pelan otot telapak tangan Hoseok. Sesekali Hoseok meringis, tetapi lambat-laun simpul menyakitkan di tangannya hilang satu per satu.

[jhs] Apprentice of Evil ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang