ELEVEN

793 168 75
                                    

Taeyeon terbangun dengan kepala yang berdenyut-denyut.

Ia terbangun dalam keadaan berbaring di kasurnya, berbalut selimut. Ketika ia melihat keluar jendela, langit masih cerah. Mungkin siang hari.

Sudut matanya menangkap lampu meja baca yang menyala. Ada Jungkook di sana sedang membaca sebuah buku.

"Jungkook...?" Panggilnya parau.

Jungkook mengangkat kepala secepat kilat. Saat dua matanya bertemu, ia menyungging senyuman.

Iris hijau itu kembali, Jungkook bersyukur.

Sang Ratu mencoba bangun terduduk meski kepalanya terasa seperti dipukul-pukul. Jungkook pun bergegas berada di sampingnya untuk membantu.

"Apa yang terjadi?"

Taeyeon merasakan bagaimana tenggorokan dan bibirnya mengering. Ia seperti yang kehausan, butuh air.

Namun, belum sempat Jungkook menjawab pertanyaannya dan Taeyeon juga belum sempat menemukan air, matanya menangkap bahu Jungkook yang berbalut perban. Bercak merah merembes menodai perban putih itu.

"Ap-Apa yang terjadi dengan bahumu? Kau terluka?"

Jungkook yang paham langsung membuat suara desis dari mulutnya, berniat menghibur.

"Minum dulu."

Semangkuk teh kamomil Jungkook berikan dan Taeyeon meminumnya tanpa protes. Tenggorokannya basah dan rasanya menyegarkan. Ia merasa lebih baik.

"Bi-Bisakah sekarang kau katakan padaku apa yang terjadi?"

Jungkook tidak langsung bertatap muka dengan sang Ratu setelah menyimpan mangkuk air di meja nakas. Hembusan napas lelah keluar dari mulutnya.

"Sepertinya kita harus lebih berhati-hati dalam bicara. Kita tidak ingin memicu apapun yang ada dalam dirimu untuk keluar."

Spontan, kata-kata Jungkook membuat jantungnya berdebar.

"A-Apa maksudmu?"

Jungkook mengulas senyum simpul. "Sepertinya kau tahu apa yang aku maksud."

Taeyeon mengambil napas dalam-dalam. Ia tidak ingin percaya, tetapi rasa takut bergelung dalam lubuk hatinya.

"Si-siapa yang keluar dari dalam diriku?" Tanyanya hati-hati.

Jungkook mengusap kepala sang Ratu dengan lembut.

"Kau kenal Jieun?"


***


Hoseok tertatih-tatih ketika ia sampai di depan teras rumah. Tubuh menggigil dan jari-jari sudah kaku.

Ia berhasil menuntaskan 30 putaran olahraga lari pada pagi hari itu.

Atau mungkin, sekarang sudah siang.

Matahari telah berada tepat di atas kepala, tetapi Hoseok masih merasa kedinginan. Lidahnya kelu dan yang bisa ia lakukan hanyalah berjalan seperti kayu yang kaku dan menghembuskan asap putih setiap mengulur napas.

"Ha. Akhirnya si pengecut selesai juga."

Meili yang memakai pakaian serba tertutup dan hangat itu bersedekap dengan punggung bersandar pada penyangga beranda teras.

Hoseok melangkah ke arahnya. Ia seret dua kaki yang terbenam di dalam salju.

Wajah Hoseok mengeras. Meili tahu bahwa Hoseok lelah. Terlebih dengan setengah tubuhnya yang tak dibalut kain apapun.

[jhs] Apprentice of Evil ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang