Malam Mencekam

17 4 2
                                    

Bugh!

Bunyi hantaman sebuah kepalan tangan dengan makhluk hidup. Umpatan, cacian, bahkan makian menjadi pengiring kepalan tangan itu mencapai tujuannya.

"Sialan!"

Mereka terus bergerak, memukul apa yang bisa mereka pukul. Malam yang sepi membuat mereka semakin leluasa mencari kepuasan atas amarah didalam kepala.

Bruk!

Salah satu dari keduanya tergeletak dilantai yang dingin, menandakan berakhirnya pertarungan sengit tersebut. Keduanya berantakan, luka lebam tidak hanya diwajah tetapi juga tubuh mereka.

Sang pemenang berlalu pergi dengan sempoyongan, meninggalkan seseorang dilantai. Diambang pintu ketika dirinya hampir lenyap dari ruangan tersebut, sebuah suara mengintrupsinya.

"Nggak seharusnya kita begini." Ucap seseorang dilantai. Tatapannya mengarah pada langit-langit ruangan. Tidak menatap lawan bicarannya karena dia tahu, orang itu pasti berhenti dan mendengarnya.

"Nggak mungkin begini kalau lo nggak memulai sesuatu yang tidak seharusnya dimulai. Ini pembalasan Tuhan."

@@@

Tengah malam, seperti biasanya pemuda itu mengendarai sepeda motornya dengan kecepatan penuh disaat orang-orang sedang mengisi daya untuk kembali beraktivitas besok. Reka lebih memilih pulang kerumah orang tuanya meskipun dia memiliki rumah sendiri di Bandung yang jaraknya tidak jauh dari kampus.

Dia sudah menduga. Papa pasti disana, disofa depan televisi dan sudah pasti tahu bahwa dirinya sudah pulang. Berjalan mendekat. Tidak membuka suara sedikitpun setelah berada disamping sofa yang diduduki Papa.

"Kenapa pulang? Jangan terlalu memaksakan diri untuk pulang ke rumah. Badan kamu butuh diistirahatkan. Mama pasti khawatir kalau kamu kenapa-kenapa."

Papa memulai pembicaraan tanpa menatapnya tetap terfokus pada TV tak bersuara itu, meski kemudian menolehkan wajahnya menatap Reka. Ada raut keterkejutan diwajah Papa dan Reka tahu Papa mencoba memasang raut tenang setelahnya.

"Masuk kamar. Obati luka kamu, usahakan Mama tidak cemas melihat memar diwajah kamu besok."

Papa menghela nafas berat. Selalu saja begini. Pulang larut malam, wajah penuh memar atau terkadang alkohol tercium, pikir Papa.

"Maaf." Lirih Reka, kemudian berjalan berbalik menaiki tangga menuju kamarnya.

@@@

Duduk dipinggiran ranjang. Pikirannya melayang kearah pembicaraannya dengan salah satu teman lamanya. Ghani –teman lamanya- menawarkan sesuatu. Bukan pekerjaan tetapi suatu barang. Yang kali ini Reka melihatnya secara langsung, karena sebelumnya dia hanya bisa melihat ditelevisi saat menampilkan sebuah kasus.

Ini pertama kalinya setelah sekian lama, Reka akan bertemu kembali dengan teman lamanya lebih tepatnya teman masa kecilnya. Mereka sudah membuat janji temu disalah satu café di Bandung. Dan sekarang Reka sedang menunggunya.

"Nggak pernah berubah. Selalu saja membuat orang menunggu." Gumam Reka sambil mengaduk minuman yang dia pesan beberapa menit lalu.

Ghani baru saja keluar dari pusat rehabilitasi. Dia ketahuan memakai barang terlarang di Apartementnya lima bulan lalu. Saat itu, tidak hanya ada Ghani tetapi ada beberapa temannya juga. Bisa dibilang pesta narkoba.

Catatan hitam Ghani membuat Pora melarang keras Reka bergaul dengan Ghani. Bukan ingin menentang Papa tetapi Reka dengan Ghani merupakan sahabat karib, mana mungkin dia memutus kontak begitu saja dengan Ghani. Bagaimanapun juga Ghani banyak membantunya ketika Reka merasa sulit.

Bunyi bel diatas pintu terdengar, mempertandakan café tersebut bertambah pengunjung. Meneliti seisi ruangan, mencari seseorang yang memiliki janji temu dengannya.

Reka melihatnya, Ghani berjalan kearahnya dengan satu tangan dimasukan ke dalam saku celananya. Perawakan tinggi, tegap dan kulit putih serta tatto dilengan atas kirinya yang terlihat karena hari ini dia memakai hoodie tanpa lengan, membuat para wanita yang berkunjung tidak bisa mengedipkan matanya atau mungkin mengalihkan pandangannya.

"Hoi, bro!" sapa Ghani dengan berjabat tangan ala lelaki.

"Udah lama nggak ketemu, ya. Gimana kabar, lo?" lanjutnya.

"Seperti yang lo lihat." Jawab singkat Reka.

"Oh, masih masalah itu. Sebenarnya gampang, sih, penyelesaiannya, cuma lo aja yang nggak berani. Seperti biasa...pengecut." Dan lagi, Ghani punya indra keenam, dia tahu yang kamu pikirkan.

"Ya seperti biasanya." Reka fokus mengaduk-aduk minuman didepannya dengan merespon yang Ghani ucapkan.

"Lo hanya perlu jelaskan sedikit demi sedikit, Ka. Mama pasti mau dengerin apa yang anaknya ucapkan. Emang, sih, dari pandangan manapun Mama salah. Tapi dia udah bertanggung jawab bahkan menyerahkan dirinya ke polisi. Jadi apa masalahnya?" Menghela nafas lelah. Sudah berulang kali Ghani menasehati sobatnya ini tetapi tetap tidak ada hasil.

Reka hanya mendengarkan, tidak ada niatan untuk merespon. Dia tahu bahkan hafal dengan kalimat Ghani. Berbicara memang mudah, melaksanakannya yang perlu banyak pemikiran.

"Gue pusing." Keluh Reka lirih.

Ghani terkekeh geli. Ini yang ditunggunya, keluhan Reka. Bukan maksudnya ingin mempengaruhi Reka. Dia tahu yang dilakukannya salah tapi dia hanya ingin membantu mereka yang terbelenggu oleh masalahanya.

Mengutak-atik ponselnya dan menunjukan foto pada Reka. Melihat foto itu sontak tatapan Reka menajam. Sudah berulang kali tertangkap dan tidak ada rasa kapok dari Ghani. Temannya ini seperti tidak bisa terlepas dari barang itu bahkan sekarang ini Ghani sedang mencoba menawari Reka.

"Kalau lo perlu, cukup kontak gue aja." Ucap Ghani sebelum beranjak pergi.

Foto yang ditunjukan Ghani adalah sabu, sebuah narkotika yang menyentuhnya saja Reka takut. Bukan takut pada Papa, Tuhan akan lebih murka dan itu yang membuat takut Reka.

Reka termenung. Mimpi buruk Mama dan insomnia pada dirinya menjadi tekanan tersendiri untuk diri Reka. Reka ingin melepaskan dirinya, bebas. Namun, setiap dirinya mencoba bebas wajah tenang Papa, wajah ceria Mama dan juga wajah cantik Taling membuat semuanya gagal. Seakan peringatan dari tubuhnya.

Untuk bebas pun Reka harus mau berkorban dan dia belum siap harus mau menerima resikonya nanti. Dan dia tidak akan siap saat itu tetapi sungguh dunia seakan menekannya tiada habis.

Harus seperti apa Reka menghadapi semua ini. Dirinya sudah sangat berbakti pada Tuhan, kurang apa dirinya? Salah apa yang telah dia lakukan? Haruskah sekejam ini?

Reka melihat jam dinding, jarum menunjukan pukul satu dini hari. Menghela nafas berat lalu merebahkan dirinya, mencoba mengistirahatkan jiwanya tanpa mengobati luka-luka diwajahnya.

@@@

Ketika diri sudah benar-benar lelah, jangan sekali-sekali mendekati mereka-mereka yang ada di lubang hitam. Mereka sedang menawarkan sebuah neraka.

@@@

Next part coment!

Salam kecup dari mas Reka.

METAFORATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang