🎭Bertemu di Masa Depan

9 1 5
                                    

Selamat membaca!
Semoga kalian suka dan tertarik.
Jangan lupa VOTE DAN KOMENYA YAAA
Kalau perlu share juga.

@@@
Lima tahun berlalu, rasanya masih tak percaya dengan saat ini. Ada keinginan untuk kembali ke masa lalu tetapi memori-memori buruk mencoba menghentikan keinginannya itu. Cukup saat ini saja karena dia tidak akan merasakan takut pada apapun. Dia tidak ingin kembali menjadi seorang penakut dan pengecut, dia tidak boleh tunduk dengan manusia penuh ego itu. Dia harus bisa berdiri sendiri.

“Iya, Yus. Kemarin aku mampir ke rumah makan yang dulu sering kita datengi bareng. Interiornya udah bagus banget. Nyaman pokoknya.”

Seorang perempuan dewasa berjalan sambil bercengkrama dengan seseorang diseberang telepon. Perempuan dengan umur berkisar 26 tahun. Caranya berjalan mampu membuat mata para lelaki tidak bisa melepaskan pandangan padanya. Tidak ada lenggak-lenggok. Gerakan kaki yang terbiasa mengikuti musik tradisional yang membuatnya istimewa.

“Lo gimana, sih?! Ke Bandung nggak ngajak gue?! Ah! SEBEL GUE!” teriakkan diakhir kalimat membuat perempuan itu menjauhkan handphone dari telinganya dan terkekeh kecil karena itu.

“Nggak perlu teriak. Kamu kalo ke Bandung juga nggak pernah ajak aku.”

“Oh, lo dendam sama gue?!”

“Siapa bilang? Kamu sendiri yang bilang.”

“Ah, udahlah! Gue ada jadwal pelatihan.”

Percakapan keduanya selesai setelah mengucapkan salam perpisahan. Sudah begitu lama mereka tidak bertukar kabar. Kesibukan selalu menyita waktu perempuan itu, bahkan sekarang jalannya harus dipercepat melihat jam sudah menunjukkan waktu pukul 6.25. Di jam itu, para pegawai harus bisa mengatur waktu untuk menghindari keterlambatan.

“Taling beberapa menit lagi lo bakal telat.” Ucap salah satu rekan kerjanya, Areta.

Perempuan itu Taling. Saat ini Taling bekerja di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dirinya direkrut langsung setelah menang dalam acara pagelaran seni tari Malaysia. Sebuah kebanggaan untuknya bisa bekerja untuk negara.

“Untungnya aku nggak telat.” Balas Taling dengan menjulurkan lidahnya mengejek Areta.

Areta dan dirinya merupakan teman sekelas di masa perkuliahan. Seperti dirinya dan Yusi dulu, Taling dan Areta tak begitu dekat, ruang kerja yang sama membuat mereka sedikit demi sedikit saling mengenal.

“Lo kemarin dicari bu Candra.”

“Kapan?”

“Lo udah pulang kemarin. Bu Candra ngira lo ikut lembur. Sekarang lo disuruh ke ruang kerjanya. Nggak tahu, sih, buat apaan. Tapi kayaknya lo bakal diminta menggantikan bu Candra buat perwakilan kementerian kita di acara Festival Banten.”

“Mungkin aja, sih. Ya udah, aku ke ruangannya dulu.”

@@@

Benar yang diucapkan Areta, Taling diperintahkan untuk menggantikan bu Candra guna menghadiri acara Festival Banten sebagai perwakilan kementeriannya.

Taling sudah terbiasa berpergian untuk bertugas. Jadi, hal ini bukanlah masalah besar untuknya. Lagi pula dirinya perlu refreshing dan semua keperluannya juga ditanggung oleh kantor. Liburan gratis, pikirnya.

@@@

Pesawatnya sampai di Banten pukul 10.45 waktu setempat. Tubuhnya lemas sekali, Taling sudah berulang kali naik pesawat tetapi jetlag seolah menjadi sesuatu yang tidak bisa dilewatkan.

Dirinya berusaha tersenyum seramah mungkin kepada rombongan yang menjemputnya. Mencoba menahan diri agar tidak jatuh tumbang. Akan sangat memalukan jika perwakilan dari kementeriannya pingsan karena jetlag.

Taling diantar menuju penginapan yang sudah disiapkan untuknya dan beberapa rekannya. Dia berencara untuk mengistirahatkan tubuhnya seharian agar besok dirinya dapat menghadiri festival dengan segar. Untuk pengecekkan, Taling bisa melakukannya dihari ketiga dia di Banten. Jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

@@@

Lokasi diadakannya festival sudah penuh dengan masyarakat, juga tidak lupa para perwakilan setiap kementerian, para petinggi daerah dan TNI daerah setempat.

Taling mengedarkan pandangannya, meneliti setiap sudut lapangan. Riasan lapangan begitu meriah seolah menggambarkan betapa bahagianya masyarakat dengan adanya festival ini.

Pandangan mata Taling tak sengaja menangkap seseorang, dia duduk dibarisan kursi bersebrangan dengan barisan duduknya. Tempat duduk untuk para pejabat dibedakan. Untuk para perwakilan kementerian duduk disebelah utara lapangan sedangkan para petinggi daerah dan TNI setempat berada disebelah selatan lapangan.

Taling terpaku ditempatnya. Seseorang dengan senyuman manis yang selalu membuatnya terkagum-kagum, dia disana. Berbincang dengan rekannya dan sesekali tertawa menanggapi ucapan rekannya itu. Seragam yang melekat ditubuhnya menambah kewibawaan yang dimilikinya. Dulu Taling belum menyadarinya dan sekarang dia sadar bahwa Barta memiliki kewibawaan dalam dirinya.

Dia Barta. Iya, Bartana Kenzosiq. Barta disana menggunakan seragam dinasnya. Seseorang yang dulu begitu kukuh memperjuangkannya meskipun ditolak keadaan. Barta masih membuatnya terkagum sampai saat ini. Begitu sempurna dimatanya.

Taling tidak pernah menduga kalau dia bisa bertemu dengan Barta disini. Bahkan Taling sempat berpikir kalau dirinya tidak akan bertemu kembali dengan Barta.

Keterpakuannya membuat Taling tidak mendengar apa yang diucapkan MC. Hingga salah satu rekannya menyadarkannya.

“Mbak, dipanggil MC. Sambutan dari kementerian kita.” Bisik Wendi yang merupakan junior di kantor Taling.

Menyadari kebodohannya, Taling langsung berdiri dan berjalan menuju panggung ditengah lapangan. Mengambil mic yang diberi MC dan mulai memberikan sambutannya.

“Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh. Saya sebagai perwakilan dari kementerian pendidikan dan kebudayaan menyampaikan permintaan maaf dari pimpinan kami yang tidak bisa menghadiri festival ini. Tetapi tidak perlu khawatir, beliau menitipkan pidatonya kepada saya.”

Taling terus berbicara dengan mengedarkan pandangannya kepada masyarakat dan para tamu undangan. Meski jaraknya sedikit jauh, Taling tetap bisa melihat raut terkejut diwajah Barta. Kita sama-sama terkejut, batin Taling.

“Kebudayaan dilahirkan oleh para leluhur kita untuk dilestarikan. Mereka berharap dengan kebudayaan yang mereka buat dapat menambah kekayaan yang dimiliki bangsa kita. Melestarikan kebudayaan tentu harus diawali dari kesadaran masyarakatnya. Tidak akan lestari jika kesadaran saja tidak dimiliki masyarakat. Coba pikirkan kalau bukan kita yang melestarikan, lalu siapa lagi? Oleh karena itu, saya berharap dengan adanya acara ini dapat menambah kesadaran masyarakat untuk mau melestarikan kebudayaan kita, kekayaan kita.”

Semua selesai dengan cepat. Dia duduk dikursinya kembali. Disebrang sana, Barta menatapnya lekat seolah tak percaya bahwa itu memang benar Taling.

Taling memberikan senyuman pada Barta. Mencoba meyakinkan Barta kalau ini memang benar dirinya. Taling kembali teringat pembicaraan mereka didepan kamar kosnya dulu. Barta mengatakan kalau saat itu adalah pertemuan terakhir mereka tetapi Tuhan sepertinya sangat menyayangi Taling. Sehingga dia kembali bertemu dengan seseorang yang berjuang mati-matian untuk mendapatkannya.
@@@

Vote and Comen yaaa

Menghargai nggak sesusah itu loh. Mengapresiasi sebuah karya terasa menyenangkan kalu kalian membiasakan.

Kalian bisa follow ig: @adeeok_watty buat tahu kapan-kapan aja METAFORA dan cerita-cerita lain author update. 

Bisa juga follow authornya langsung di ig: @adeeok_

METAFORATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang