“Sah!”
Acara dilaksanakan dengan begitu meriah. Dekorasi dimodif dengan tema fairytale. Kebahagiaan dari kedua pengantin dapat dilihat dengan jelas bahkan hanya dengan sekelibat. Ucapan selamat silih berganti dari para tamu undangan.
“Selamat, bro!”
Taling tersenyum manis mendampingi Barta. Dirinya diminta Barta untuk menemani laki-laki itu datang ke pernikahan salah satu rekannya di militer. Sebenarnya sudah menolak tetapi Barta dengan seribu bujukannya selalu dapat meluluhkan Taling.
Hubungan mereka sudah begitu dekat. Setelah ajakan menikah dari Barta, mereka sudah merencanakan lamaran secara resmi. Barta juga sudah meminta restu langsung pada Ayah Taling. Semuanya sudah terencana tinggal bagaimana Tuhan menakdirkan.
Taling sudah pernah merasakan bagaimana rasanya ditinggalkan. Mencoba belajar dari kesalahannya di masa lalu. Dirinya belajar membuka diri pada Barta, mengungkapkan keluh kesahnya, dan menunjukan apa yang diinginkannya.
Taling bisa merasakan perbedaannya anatara dulu dan sekarang. Ternyata lebih menyenangkan saat ini, semuanya terasa nyaman, tidak ada gelisah dihati.
“Kapan nyusul, Bar? Yang di sebelah kayaknya masih nganggur. Cepet dihalalin.”
Barta dan Taling hanya tersenyum lebar. “Tunggu aja undangan di depan pintu.”
Bergantian dengan tamu lain yang ingin berbincang dengan kedua pengantin, mereka menuju ke meja dimana makanan sudah disajikan. Ini ide Barta. Barta bukan seorang lelaki yang mampu menahan laparnya. Kalau mau nahan lapar, mending puasa aja. Itu menurut Barta. Untuk apa menahan lapar karena suatu hal, diet misalnya, lebih baik menahan lapar yang berpahala, pikir Barta.
“Aku pengin pulang.” Rengek Taling ketika mereka duduk untuk memakan makanan mereka.
“Baru aja duduk, Ta. Sebentar, ya. Habisin makanan. Kasihan, nanti makanannya nangis.” Barta memakan makanannya dengan lahap. Pipinya menggembung menampung banyak makanan dimulut membuat Taling tertawa melihatnya. Barta terlihat buru-buru setelah taling merengek ingin pulang.
“Jangan buru-buru! Nanti tersedak.” Tegur Taling sambil mencubit pipi Barta yang menggembung.
Barta terdiam. Beberapa akhir ini Taling sering tertawa tapi entah kenapa selalu membuat Barta terdiam, sulit dijabarkan rasa dihatinya. Terlalu rumit.
“Kenapa? Kok, diem.”
“Kamu kalau ketawa hawanya jadi pengin cepet-cepet halalin.” Celetuk Barta.
“Ya udah, mau dipercepat?”
“Nggak ah! Kemarin aja mata Ayah kamu mau keluar pas aku datang ke rumah.”
“Namanya juga anak perempuan satu-satunya. Tapi Ayah aku baik, kan?”
@@@
Salah satu rumah di kawasan perumahan elit adalah milik Barta. Laki-laki itu membeli rumah dengan mengumpulkan uang gajinya. Gaji pertamanya dulu hendak diberikan kepada kedua orang tuanya tetapi ditolak dan menyarankan untuk menabung uang tersebut guna membeli rumah. Dan rumah itu hasilnya.
Pertama kali Taling datang, matanya berbinar melihat semua itu. Dalam hatinya, ‘Wah, besok aku tinggal disini. Benarkah?’
Saat ini mereka singgah di rumah Barta. Mengistirahatkan tubuh setelah perjalanan mereka dari tempat pernikahan rekan Barta.
“Ta, besok kamu mau punya anak berapa?” Tanya Barta dengan kepala direbahkan begitu nyaman dipangkuan Taling. Sepertinya itu tempat favoritnya untuk merebah.
“Mungkin tiga.”
Dari dulu ketika Taling sudah mampu berfikir soal pernikahan, dirinya ingin memiliki tiga orang anak laki-laki. Entah kenapa. Mungkin karena menjaga anak lelaki tidak sesusah anak perempuan. Meskipun sama-sama perlu diawasi, orang tua harus bisa mengontrol pergaulan anak perempuan mereka. Setidaknya agar tidak mempermalukan keluarga.
Sedangkan anak laki-laki hanya perlu memberikan senjata ampuh menurut Taling. Senjata ampuh yang tak lain adalah belaian seorang ibu. Sekeras apapun anak laki-laki jika mereka dinasihati dengan lembut dan penuh kasih sayang, mereka akan menangkap dengan mudah. Berbeda dengan ayah, sifat keras jika dilawan dengan keras maka tidak akan memberikan hasil. Keduanya berbentrokan.
“Kenapa nggak sebelas?” Celetuk Barta sambil menekan kepalanya pada perut Taling.
“Mau nyaingi gen halilintar? Lagian melahirkan nggak semudah itu tahu.” Taling mencubit pipi Barta dengan gemas.
Perbincangan ringan yang menghangatkan hati. Taling sungguh menyukai saat ini. Dirinya diperlakukan dengan begitu istimewa, dijaga dengan sangat baik dan kelembutan yang didambakannya dulu, terpenuhi saat ini. Ia harap semuanya akan terus seperti ini.
@@@
Berharap bukan suatu hal yang salah. Setiap orang memiliki hak untuk berharap. Masalah terpenuhi ataupun tidak itu sudah urusan Tuhan.
@@@TBC
VOMEN

KAMU SEDANG MEMBACA
METAFORA
RomanceSemua tidaklah sama. Nasibnya berbeda. Pikiran memaksa untuk mengumbar tawa. Hati menekan tangis lara. Bukan pahlawan yang ditunggunya begitu juga pangeran berkuda. Tak ada yang bisa diandalkan karena andil Tuhan terlalu besar dalam kehidupan.