Selamat membaca!
Semoga kalian suka dan tertarik.
Jangan lupa VOTE DAN KOMENYA YAAA
Kalau perlu share juga.@@@
Sedikit bernostalgia bukan masalah untuk Taling. Beberapa saat lalu Reka mengajaknya bercerita masa dulu ketika mereka masih bersama. Delapan tahun bukan waktu yang sebentar sehingga Taling bisa membentuk dirinya dengan sangat benar. Awalnya memang sulit tapi keterbiasaan membuatnya lebih mudah.“Dulu lo suka banget coklat. Sekarang masih suka?” Meski hanya perbincangan basi tetapi Taling berusaha menghargai Reka. Membalas setiap pertanyaan yang dilontarkan lelaki itu.
Tadi dia sudah menelpon bu Candra, meminta waktu beberapa jam untuk bisa berbincang dengan Reka dan untuk berkas rapat tadi pun Taling sudah meminta Areta untuk datang dan memberikannya kepada bu Candra. Jadi sekarang Taling punya banyak waktu. Sebenarnya agak kagok untuk Taling karena ini pertama kalinya setelah beberapa tahun bekerja di kementerian ini Taling meminta waktu hanya untuk berbincang dengan teman ataupun keluarga.
“Masih. Setidaknya coklat bisa buat aku lupa dengan sakit yang pernah orang beri untuk aku.” Jawab Taling enteng. Bisa dilihat olehnya raut wajah Reka yang berubah muram.
Reka baru saja akan kembali membuka suara tetapi dering handphone Taling mengintrupsi terlebih dahulu. Membuat Reka mengurungkan niatnya.
Barta is calling…
Barta menelponnya. Bukannya tadi pagi mereka baru saja bertukar pesan. Ada apa? Kenapa Barta menelponnya?
Tanpa pikir panjang Taling menggeser tombol hijau dilayar handphonenya dan mengarahkannya ke telinga.
“Hallo!”
“Coba lihat pintu café tempat lo duduk sekarang!”
Bagaimana Barta tahu kalau dirinya sedang ada di café? Yang dia tahu, dia tidak pernah memberitahukan Barta kemana dia saat ini.
Menuruti perintah Barta. Dirinya menoleh kearah pintu café. Kalau tidak salah dengar lonceng diatas pintu berbunyi.
Taling melongo melihat Barta yang sudah berdiri di ambang pintu dengan masih mengenakan seragam dinasnya.
Barta melambaikan tangan dengan senyum indah dibibirnya. Dan sepertinya Barta tidak tahu kalau lelaki yang duduk di depannya adalah Reka karena Reka duduk membelakangi pintu masuk café.
Menutup sambungan telepon mereka dan berdiri menyambut kedatangan Barta. Jujur saja, Taling merasa bingung dengan kondisi saat ini. Ini semua tidak pernah terpikirkan oleh Taling.
Reka hanya melihat interaksi kedua orang tersebut. Melihat bagaimana laki-laki dengan seragam dinasnya memeluk Taling dengan erat dan ciuman dikening pun tak luput dari penglihatannya.
Taling terkejut dengan pelukan dan ciuman kening yang diberi Barta untuknya. Hatinya menggeram kesal. Bagaimana bisa dia ada dikeadaan seperti ini? Ah! Ini diluar perkiraannya. Barta membohonginya dengan mengatakan kalau dirinya akan pulang minggu depan.
“Surprise!” Bisikan Barta dapat didengar Taling ketika memeluknya tadi.
Barta baru melihat lelaki yang sedang berbincang dengan Taling setelah melepaskan pelukannya. Tidak ada keterkejutaan pada Barta. Dirinya cukup tahu caranya mengontrol diri.
“Oh, hai! Gimana kabarnya? Masih ‘make’?” Sapa Barta setelah duduk disebelah Taling dengan tangan yang terus menggenggam erat tangan Taling.
Reka melihatnya. Bukan masalah. Reka cukup bersyukur setidaknya ada orang yang mau menjaga Taling setelah dirinya.
“Baik. Syukurnya nggak.” Jawab Reka singkat.
Taling tidak terlalu polos untuk mengerti maksud pembicaraan Barta dengan Reka. Dirinya cukup terkejut dengan itu. Taling tahu Reka bukan orang yang mudah terhasut. Bagaimana mungkin?
Melihat keterkejutan diwajah Taling membuat Reka terkekeh geli. Menurutnya itu ekspresi terlucu yang dimiliki Taling. “Gue make sabu empat tahun lalu. Masih tahap pemula jadi cuma menjalani rehabilitasi saja dan mungkin denda. Kaget, ya?” Reka tersenyum setelahnya.
“Waktu itu gue berada dititik terendah gue. Putus dari lo, Mora semakin buruk keadaan psikisnya dan kematian Pora saat itu masih belum gue terima. Menjadi hal yang membuat gue berani melawan Tuhan dan pegang benda itu. Gue pikir disaat ada seseorang yang menawarkan sebuah ketenangan kenapa nggak?” Lanjut Reka.
“Kamu nggak lupa sama kalimat aku didepan makam Papa kamu, kan? Kamu butuh pendengar bukan hal-hal terlarang semacam itu.”
“Iya, maaf. Udah nggak kok. Bersyukur Barta mergoki gue.”
Mendengar itu sontak Taling menoleh menatap Barta yang duduk di sebelahnya. Sedangkan Barta yang ditatap ikut menatap Taling juga. Membelai rambut panjang Taling.
“Gue sama Reka sahabat kecil.”
@@@
Bertemu dengan Reka saat ini membuat Barta kembali mengingat malam dimana dia dipukul habis-habisan oleh Reka. Malam setelah dia dengan berani menemui Taling di kosannya.
Berteman sejak kecil membuat mereka sama-sama tahu kelemahan masing-masing. Mereka jatuh cinta pada orang yang sama. Barta tahu masih ada banyak keterkejutan dari Taling.
Keduanya duduk berhadapan ditempat duduk yang sama dengan terakhir kali Taling ada. Berdiam diri menjadi cara komunikasi yang cocok untuk mereka.
Barta tahu kepulangan Reka karena dialah yang menjemputnya. “Lepasin dia. Biarin gue yang berperan untuk selanjutnya.” Ucap Barta menghilangkan keheningan diantara keduanya.
Reka yang sedang menatap jemari tangannya yang dipilin diatas meja, mendongak menatap Barta dengan dahi berkerut. “Gue udah lepasin Taling delapan tahun lalu. Gue udah nggak ada posisi lagi. Kalau mau, coba berjuang lagi. Gue udah ada Anne dan nggak lupa dua anak gue.”
“Lo nggak bisa bohongin gue. Dari cara lo menatap Taling, gue tahu kalau lo masih punya rasa buat Taling.”
“Bar, gimana gue bisa lupa sama Taling? Rasanya sesak, Bar. Dada gue serasa dihantam batu ketika lihat senyum kaku dibibir Taling. Gue pikir, apa sebegitu berpengaruhnya perginya gue buat Taling?”
Barta terkekeh kecil. Dalam hati merutuki kebodohan teman masa kecilnya ini. “Bego! Gue nggak tahu lo sebego ini.”
“Iya, seperti yang lo tahu. Dan gue pengin lo bawa Taling ke acara aqiqah Wigyan.”
“Dan biarin Taling sakit hati lihat mesranya keluarga yang dulu pernah dia harapkan dari lo. Gue nggak bisa. Cukup waktu lo pergi, gue nggak ada buat dia.”
“Bukannya ini kesempatan buat lo. Buat Taling nyaman sama keberadaan lo. Dilihat dari kondisi Taling saat ini mungkin sedikit susah tapi gue tahu lo orang yang nggak gampang nyerah. Kejar terus!” Reka menghela nafas berat. “Gue undang Taling juga ada alasan. Gue pengin nunjukin kalau gue bahagia dan dia juga harus bahagia.”
Beranjak pergi meninggalkan Barta yang terdiam diduduknya. Reka harus menilik rumahnya, dia takut rumahnya tidak terawat dengan baik meskipun pengurus rumahnya sudah mengatakan kalau beliau membersihkan rumah setiap hari tetapi rasanya tidak tenang.
Dia tidak mau putra keduanya tidak nyaman dirumahnya sendiri. Bagaimana pun seorang bayi pasti akan merasa nyaman disuatu tempat yang bersih dan rapi.
@@@
Jika hanya menggunakan logika, semuanya tidak akan sampai. Harus gunakan hati untuk tahu apa yang sebenarnya terjadi.
@@@Vote and Comen yaaa
Menghargai nggak sesusah itu loh. Mengapresiasi sebuah karya terasa menyenangkan kalu kalian membiasakan.
Kalian bisa follow ig: @adeeok_watty buat tahu kapan-kapan aja METAFORA dan cerita-cerita lain author update.
Bisa juga follow authornya langsung di ig: @adeeok_
KAMU SEDANG MEMBACA
METAFORA
RomanceSemua tidaklah sama. Nasibnya berbeda. Pikiran memaksa untuk mengumbar tawa. Hati menekan tangis lara. Bukan pahlawan yang ditunggunya begitu juga pangeran berkuda. Tak ada yang bisa diandalkan karena andil Tuhan terlalu besar dalam kehidupan.