Kemesraan yang Terimpikan

18 2 0
                                    

Kediaman de Laurent sudah tampak ramai dari luar. Rumah yang dahulu sepi ditinggal pemiliknya, kini ramai dengan tamu-tamu undangan baik teman, kerabat ataupun kolega bisnis.

Taling bersebelahan dengan Barta, tangannya menggenggam lengan kiri Barta. Disituasi saat ini Taling butuh pegangan. Taling memang sudah tidak memilik rasa yang dulu pernah ada tetapi rasanya tetap saja asing untuknya dan sedikit ada sesak didada ketika salah satu mimpinya tidak dapat terwujudkan.

“Are you okey?” Barta begitu pengertian pada Taling. Dia tidak pernah melepaskan genggaman Taling. Barta tahu kalau Taling begitu asing dengan suasana ini. Oleh karena itu, dirinya yang memang sudah hafal dengan semua keluarga Reka, mencoba mengenalkannya pada Taling.

I’m fine. Udahlah nggak perlu kenalin semuanya. Lagian buat apa aku tahu?”

Barta terkekeh geli. Tangannya mengacak pelan puncak kepala Taling dan memberikan kecupan dikening. “Kalau gitu sekarang waktunya kamu kenalan sama Ayah dan Bunda.”

Taling sudah terbiasa dengan setiap kecupan dikening yang dilakukan Barta meski terkadang bingung, hubungan apa yang sedang mereka jalani.

Bola matanya membelalak kaget. Bertemu dengan orang tua Barta? Hei, dirinya belum melakukan persiapan apapun.

“Hah!”

Menghalau Taling protes, Barta langsung saja menarik tangan Taling untuk mengikuti langkahnya.

“Eh! Ken, bawa siapa?” Tanya Bunda Barta. Wanita dengan senyum manis dan Taling tahu wajah siapa yang menurun pada Barta.

Ken adalah panggilan sayang dari kedua orang tuanya. Nama belakangnya Kenzosiq.

“Calon istri, Bun.” Jawab Barta dengan mengedipkan satu matanya.
Bunda tertawa renyah mendengarnya. Beliau langsung memanggil suaminya –ayah Barta- yang sedang berbincang dengan salah satu teman bisnisnya.

“Ini si Ken bawa calon mantu kita.” Ucap Bunda pada Ayah Barta.

Taling yang menjadi bahan perbincangan hanya tersenyum malu dan menyembunyikan wajahnya dilengan kekar Barta.

“Masa, sih? Mana?”

Barta menarik Taling yang masih sibuh menyembunyikan wajahnya untuk berdiri didepannya.

“Cantik nggak, Bun?”

“Cantik banget kalau nggak nunduk. Angkat kepalanya, Cantik!”

Mendengar itu Barta langsung mengangkat dagu Taling dari belakang agar mau mendongakkan kepalnya yang sedari tadi menunduk.

“Jangan nunduk, Ta. Bunda sama Ayah orang baik. Mereka nerima kamu, kok.”

Taling mengerutkan dahinya mendengar bisikan Barta. Menerimanya? Untuk apa? Barta berbicara seolah mereka sedang meminta restu untuk menikah.

“Namanya siapa?” Taling menoleh merasa ditanya oleh Ayah Barta.

“Taling, om.” Jawabnya dengan senyum canggung.

“Cuma Taling?”

“Taling Aksara Jawika.”

METAFORATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang