Selamat membaca!
Semoga kalian suka dan tertarik.
Jangan lupa VOTE DAN KOMENYA YAAA
Kalau perlu share juga.@@@
Festival selesai lebih cepat dari perkiraan Taling. Kebudayaan yang disajikan membuat Taling merasa bangga dengan bangsanya. Setidaknya ditengah kebudayaan barat yang mewabah, masih ada rasa peduli dari masyarakat Indonesia, batin Taling.Taling berjalan kembali ke penginapannya. Menyiapkan berkas-berkas untuk besok ia bawa dalam pengecekkan. Setelah itu dia menghubungi bu Candra untuk memberitahukan kelancaran acara. Bu Candra akan membuat laporan sehingga Taling harus menceritakan jalannya acara.
Soal Barta. Setelah acara dibubarkan, Taling tidak melihat Barta lagi. Mungkin kembali dengan kesibukannya, pikir Taling.
Meskipun diberi kempatan untuk berbicara berdua pun sepertinya Taling tidak akan mengambil kesempatan itu. Taling tidak tahu pembicaraan yang pas untuk mereka. Dan Taling menghindari topik pembicaraan tentang masa lalunya. Dia tidak mau mengungkit karena dirinya pun akan selalu ingat tanpa perlu membicarakannya kembali.
@@@
Taling merasa bosan terus-terusan berada di penginapan setelah selesai memberikan informasi tentang festival kepada Bu Candra. Ia memutuskan untuk berjalan-jalan berkeliling disekitar penginapannya.
Membuka pintu kamarnya. Seseorang berdiri didepan pintu kamarnya dengan tangan tergenggam terangkat, bermaksud mengetuk pintu. Seseorang yang kembali membuat Taling terpaku. Dia adalah orang dengan seragam dinas yang dilihatnya duduk diseberang tempat duduknya.
Barta. Bagaimana bisa Barta tahu kamar inapnya? Taling benar-benar tidak bisa menggerakkan tubuhnya, semuanya kaku. Sampai sebuah suara yang begitu lembut melewati rongga telinganya. “Apa kabar, Ta?”
Taling memejamkan matanya menikmati suara yang senada dengan alunan musik klasik kesukaannya. Taling berharap waktu berjalan lambat sampai semua rasa yang berada dalam dirinya lepas terungkapkan.
Membuka matanya, membalas sapaan Barta, “Rindu kamu.”
Jawaban Taling sukses membuat Barta terkekeh. “Gue nggak tahu kalau lo sekarang bisa gombal.”
Mendengar itu sontak kedua pipi Taling memerah, dalam hati Taling memaki dirinya atas kekonyolannya tadi. Menundukkan kepalanya, menutup rona merah sialan itu.
@@@
Barta dan Taling memutuskan berbicara sambil berjalan melihat-lihat lingkungan disekitar penginapan. “Gimana Reka?”
Taling menoleh menatap Barta lalu kembali menatap kearah depan. “Kamu, kok, bisa disini?”
Taling berusaha mengalihkan pembicaraan, Barta paham itu. Barta sudah lama mengenal Taling, bukan hal sulit untuk mengetahui apa yang dilakukan Taling.
Mencoba mengerti, “Iya, gue ditugaskan di Banten. Tapi bulan depan gue dipindah tugaskan di Jakarta. Jadi kita bisa sering ketemu di Jakarta. Lo di kantor yang itu, kan?”
Taling mengangguk mengiyakan. Dia bersyukur pembicaraan mereka teralihkan. Taling tahu Barta mencoba memahaminya, sosok yang sempurna menurut Taling.
“Kapan pulang ke Jakarta?”
“Kalo nggak ada kerjaan lagi, mungkin lusa aku pulang. Kenapa?”
“Nggak apa-apa, sih. Hehe.”
Keduanya terdiam. Sama-sama kehabisan bahan pembicaraan. Hingga mereka sampai disebuah warung makan yang terlihat begitu asri. Duduk berhadapan setelah memesan makanan mereka.
“Ta, gue nggak bisa.” Taling mengerutkan dahinya, bingung dengan apa yang diucapkan Barta. “Gue nggak bisa lupain lo. Setiap gue mencoba mendekatkan diri dengan semua perempuan yang dipilihkan Bunda, wajah lo selalu melayang-layang dikepala gue. Lo selalu disini.” Barta menunjuk dada kirinya.
Taling hanya bisa terdiam mendengarkan Barta. Dirinya terlalu bingung untuk menanggapi. Jujur saja dia belum bisa melupakan ingatannya tentang Reka. Sungguh perasaan yang dimilikinya untuk Reka sudah benar-benar hilang tetapi ingatan saat Taling bersama begitu indah meski banyak kekerasan yang didapatnya.
“Gue nggak minta lo buat tanggapi perasaan gue. Tenang aja, nggak perlu tegang.” Ujar Barta disertai dengan senyumannya, membuat Taling merasa bersalah untuk itu.
Barta kecewa. Dia bisa melihatnya karena Taling juga mempelajari ilmu psikologi sebagai bekal untuknya agar dia tahu perkembangan anaknya kelak.
“Maaf.” Lirih Taling.
“Hei, nggak apa-apa. Angkat kepalanya. Jangan nunduk! Nanti mahkotanya jatuh.”
Deg.
Kalimat Barta melemparnya pada ingatan dimana dirinya dan Reka berada disuatu taman. Menggelengkan kepalanya mengenyahkan segala pikiran dalam kepalanya.
“Iya.”
@@@
Melupakan sebenarnya hal yang mudah. Hanya saja manusianya terlalu banyak berpikir hal tak berguna yang membuat mereka terus terpaku pada tempatnya. Menyusahkan diri mereka sendiri.
@@@Vote and Comen yaaa
Menghargai nggak sesusah itu loh. Mengapresiasi sebuah karya terasa menyenangkan kalu kalian membiasakan.
Kalian bisa follow ig: @adeeok_watty buat tahu kapan-kapan aja METAFORA dan cerita-cerita lain author update.
Bisa juga follow authornya langsung di ig: @adeeok_
KAMU SEDANG MEMBACA
METAFORA
RomansaSemua tidaklah sama. Nasibnya berbeda. Pikiran memaksa untuk mengumbar tawa. Hati menekan tangis lara. Bukan pahlawan yang ditunggunya begitu juga pangeran berkuda. Tak ada yang bisa diandalkan karena andil Tuhan terlalu besar dalam kehidupan.