Part 2

375 30 0
                                    

Enjoy the story...

Zoya pov

Entah pergi kemana pikiran jernihku?
Sehingga aku mau menjadi rahim sewaan bagi suami wanita bernama alisia itu.
Tapi saat melihat ibu terbaring diatas brankar dengan berbagai macam alat bantu pernapasan yang terpasang di tubuhnya. Aku merasa semua keputusan ini sudah tepat.
Aku bisa membiayai pengobatan ibu dan juga menebus rumah alm. Ayah di bank.
Dengan begitu semua rasa bersalahku pada ibu kurasa bisa ku tebus dengan semua itu.

"ibu, bangunlah...!
Hiks hiks...
Apa ibu tak ingin melihat wajahku lagi...?
Ibu... Bangunlah...
Hiks hiks..."
Aku menggenggam tangan ibu. Tangan hangat dan halus inilah yang dulu selalu menggendongku, tangan inilah yang selali menyuapiku.
Mana bisa ku pertaruhkan nyawa ibuku dengan ego ku? Tak mungkin.
Biarlah hilang kehormatanku asalkan ibu bisa kembali sehat seperti semula.
Toh aku akan dinikahi bukan hanya di hamili.
Ah sudahlah.
Aku tak ingin memikirkannya.
Ibu adalah prioritasku sekarang.

Tak lama, tangan hangat ibu bergerak.
Aku terkejut. Kulihat perlahan matanya terbuka dan mengerjap beberapa kali.
Aku tersenyum bahagia melihatnya sudha sadar.
Sejak kemarin dibawa ke rumah sakit, ibu tak sadarkan diri. Tentu saja aku bingung dan tak bisa sabar menungguinya.
Sebab dokter mengatakan kalau ibuku tidak segera sadar berarti ibu sedang kritis.

"syukurlah ibu sudah sadar...
Zoy takut bu..
Zoy takut ibu akan ninggalin zoya smaa seperti ayah..."
Kau memeluk ibuku yang masih terbaring di atas brankarnya.
Sebuah tangan mengelus kepalaku.
Kulihat ibu tersenyum menatapku. Ia mengusap jejak air mata yang jatuh melewati pipiku.
Perasaan bersalah muncul dihatiku perlahan.

Jangan sampai ibu tahu mengenai hal ini, zoy... Jangan sampai... Atau ia tak akan mau menganggap ku sebagai anak lagi...
Dewi batinku berbicara.

Aku membenarkan hal itu. Kalau sampai ibu tau bisa bisa ia malah kena serangan jantung. Dan tentu saja aku tak menginginkan hal itu terjadi.

Sudah hampir satu minggu ibu berada di rumah sakit. Semakin lama kesehatannya semakin membaik. Gejala penyakit TBC yang dideritanya juga semakin menurun. Ia sudah tak lagi mengalami batuk batuk lagi.

"besok, ibu anda sudah diperbolehkan untuk pulang... Dan bisa berobat jalan..."
Dokter yang menangani ibu mengatakan kalau ibu telah sembuh.
Aku sangat senang sekali.

Aku membawa ibu pulang kembali ke rumah kami. Benar rumah ini telah kembali menjadi rumah kami sendiri setelah beberapa hari lalu telah kutebus.
Bahkan surat sertifikatnya baru saja tiba kemarin dan masih ada diatas meja. Belum sempat kusimpan ke dalam laci kamar ibu.

"surat apa itu...?"
Aku tertegun.
Astaga, bagaimana nanti kalau ibu menanyaiku mengenai bagaimana caraku menebusnya. Tadi saja saat ibu menanyakan mengenai biaya rumah sakit aku hanya diam tak bisa menjawab.
Dan dengan terpaksa aku harus membohonginya kalau biayanya dipinjami oleh sahabatku. Padahal selama bersekolah di SHS aku tak terlalu banyak memiliki teman. Aku harus fokus dengan sekolah dan mencari uang dengan kerja paruh waktu.
Tapi kurasa ada satu.
Hanya Dea.
Ya hanya dea yang menjadi satu satunya temanku.
Dia temanku sejak aku memasuki dunia sekolah menengah pertama. Dia teman sebangkuku hingga saat ini.

Wajahnya cantik dan imut hanya saja selalu ditutupi oleh kacamata bacanya yang berbentuk bulat.

Wajahnya cantik dan imut hanya saja selalu ditutupi oleh kacamata bacanya yang berbentuk bulat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
2Z Love Story (Zoya & Zio) ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang