Pergi untuk selamanya

10 0 0
                                    

Satu tahun telah berlalu. Kini keluarga yang kurindukan akhirnya utuh lagi dengan sempurna.

Mama akhirnya tinggal bersama aku dan ayah. Aku sangat bersyukur untuk semua ini.

Pagi yang cerah telah di mulai. Sekarang tengah berjalannya liburan sekolah.

Aku memilih berdiam diri di rumah. Rebahan.

Akhir-akhir ini terlihat ayah membagi waktunya untuk sebagian penuh ke keluarga dan sebagian kecil untuk urusan yang lain.

Pagi ini sedikit gerimis. Terdengar rintik air dari atas mengenai genting rumah ini.

Sedikit dingin yang membuatku memakai sweeter buatan mamaku sendiri. Mamaku memang pandai dalam menenun, dan menjahit.

Aku turun ke bawah untuk membuatkan minuman coklat hangat untuk diriku sendiri.

Tengah ku tuangkan bubuk coklatnya di dalam gelas beningku. Tak lupa kutuangkan air hangat di atasnya. Kuaduk perlahan lalu kutiup.

Slurrppppp.... Ahhhhhh.....

Sangat menghangatkan.

Kusenderkan tubuhku di meja dapur itu. Ku sampingkan pandanganku keluar jendela dapur ini.

Terlihat embun-embun di rerumputan halaman rumah ini.

Sungguh indah ciptaan tuhan.

Terasa lapar akupun memasak sebungkus mie kuah.

Bik Ainun tengah minta cuti untuk beberapa hari karena anaknya sedang sakit di sana.

Kuambil sebuah panci dengan berisikan air lalu kutaruh di atas kompor. Ku nyalakan kompor tersebut.

Apinya menghasilakn hawa hangat di sekeliling panci jadi dengan spontan aku letakkan tanganku tak jauh dari api tersebut.

"Pagi sayang?" Sapa Mama hangat.

"Hai Ma, pagi juga." Kutak menoleh.

Mama yang melihatku membuat mie, akhirnya mengambil tiga bungkus mie lagi di dalam lemari.

Mama menyodorkannya ke aku, "Tambahan." Ujarnya singkat.

"Banyak banget Ma?"

"Sudah buatin saja sesuai porsi mie nya."

Aku mengangguk.

Tak lama kemudian, telah tertata rapi 4 mangkok yang berisikan mie kuah.

Ku hiasi masing-masing mangkok dengan telur rebus yang ku iris lumayan kecil dan kutaburi bawang goreng di atasnya.

"Tolong kamu panggilkan Pak Agus."

Kupanggilkan Pak Agus, ku suruh dia masuk ke rumah hingga sampai di meja makan lalu dia memakan mie buatanku.

Lalu kupanggilkan ayah yang berada di kamarnya. Dari malam tadi dia juga tak kunjung keluar dari kamarnya.

Kubuka pintu kamarnya dengan perlahan. Ku lihat ia masih terbaring di kasurnya.

Kudekati sosok itu dengan perlahan.

"Ayah?"

Ayah membalikkan badannya ke arahku.

Ayah? Apa benar yang berada di depanku ini adalah ayah?

"Apa kamu takut sayang?" Tanya Ayah.

Aku terduduk lemas di hadapannya.

"Mengapa sekarang tak ada sedikitpun rambut di kepalamu?!"

"Maafkan ayah."

"Kita harus ke dokter sekarang!" Perintahku.

Ku raih bahu ayah, ku tegakkan beliau.

Ia meronta halus, "Sudah terlambat." Bisa-bisanya dia tersenyum tulus saat ini?!

Apa dia tidak tau bagaimana perasaanku sekarang?

"Baiklah ayo kita makan mie." Ajakku.

Aku tak mau kelihatan sedih di depannya. Aku tau jika aku kelihatan sedih maka ayah akan semakin lemah.

Tak lama kemudian Mama datang dengan membawa nampan yang berisikan 3 mangkuk yang sama dengan yang kusiapkan.

"Aku akan menyuapkan mu."

Ku sodorkan satu demi satu sendokan ke mulutnya. Dia selalu membuka mulutnya secara perlahan.

Mie nya habis dengan sedikit lama.

Biarlah aku tak makan, asalkan aku bisa menyuapinya.

"Ayah ayo ke dokter!"

Aku menarik paksa lengannya yang mulai melemah.

"Sudah terlambat."

"Apanya?!" Tak sengaja aku membentaknya.

Dia tersenyum tulus lagi, "Ini sudah stadium akhir. Dan kenapa kamu dia ketika kamu tau sebenarnya?"

Aku terdiam, aku memeluk dia. "Karena aku tau pasti ayah bakalan sembuh."

"Tak semudah itu.... Ini kanker otak sayang." Ayah membalas pelukanku.

Raut wajahnya tak menandakan bahwa dia sedang sakit keras. Tapi aku tau itu pastk sangat sakit! Mengapa engkau menyembunyikannya?!

"Canxe?"

Mama yang hanya diam menunduk akhirnya diangkatnya kepalanya melihat ke ayah.

"Terimakasih telah menjaga kami selama ini dari luar rumah."

"Jangan bilang begitu." Ucap Canxe.

Ayah membuka lengan satunya. Ayah memberi kode supaya kami bertiga bisa berpelukan.

Canxe datang di pelukan ayah. Dia menangis sejadi-jadinya.

"Maaf ayah tidak bisa menepati janji ayah ke kamu."

"Ayah berhenti bilang begitu!" Aku meronta sejadi-jadinya.

"Maaf dan terimakasih untuk semuanya!" Ucap Ayah berusaha tegar.

"Kalo ayah bilang begitu lagi, aku tak akan memaafkan diriku ini!" Ancamku.

"Ayah......... Pa...... Mit."

Terdengar sekali apa yang ayah bilang untuk tetakhir kalinya.

Hembusan nafas tetakhirnya tepat mengenai telingaku.

Ayah terasa lebih berat dari yang sebelumnya.

Aku dan mama mengoyang-goyangkan tubuhnya. Matanya tak kunjung terbuka.

Mama memeriksa nadi ayah. Tapi hasilnya nihil.

Tepat saat itu hujan badai telah mengguyuri dunia ini.

Ayah kumohon kau bangun! Lihatlah dunia ini? Mereka juga tersiksa atas kepergianmu.

Aku masih memeluk dia. Rasanya aku tak ingin melepas dia.

Mama juga menangis sejadi-jadinya.

Kubiarkan mama dengan mayit ayahku.

Aku memilih ke kamarku. Menangis di sudut kamarku.

"Ayah? Apa kau lupa dengan janji-janjimu kepadaku?! Kau berjanji akan terus bersamaku! Kau begitu cepat meninggalkanku! Katanya kau akan menjagaku?! Tapi sekarang apa?!" Umpatku dalam hati.

Kukepalkan tanganku, ku tinju lantai kamarku sejadi-jadinya.

Ayaahhhhhhhh. Haaaaaaaaaaa.

Aku masih menangis! Mataku lembab. Dadaku sesak. Dia yang selalu menyemangatiku untuk hidup akhirnya dia sendiri yang deluan pergi.

Apa semengeri itu kanker otak?! Mengapa kau datang pada ayahku?! Mengapa tidak ku saja?!

Look At Me!!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang