Pergi Untuk Selamanya (2)

28 1 0
                                    

Jam menunjukkan pukul 08.00 WIB. Aku terbangun karena kehadiran Leo.

"Hai cantik? Bangun gih!" Ucapnya sambil menyolek hidungku.

"Gak usah dicolek juga kali-_-"

Leo cengengesan.

Kududukkan tubuhku. "Katanya sebentar." Aku mendengus kesal.

Leo menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal.

"Hehehe maaf yah, tadi ada urusan."

Leo membuka sebungkus bubur nasi ayam yang baru ia beli.

Akupun mulai memakannya dengan perlahan.

"Aku mau muntah!" Tolakku saat Leo ingin memberi suapan lagi.

"Dipaksa makan ya? Biar cepet sembuh." Leo mencubit pipiku.

Aku mendengus kesakitan. "Suka banget nyubitin pipi aku!"

"Habisnya kamu lucu sih hahaha."

Leo masih menyodorkan makanannya ke aku. Kuterima dengan paksa. Dan kupaksa supaya aku tidak muntah.

"Kapan kemoterapinya?"

"Dua hari lagi." Jawab Leo. "Oh ya, ada hoodie warna merah, siapa yang naruh?" Lanjutnya bertanya.

"Mama aku, untukku."

"Mama mu pandai membuatnya ya." Kujawab dengan anggukan.

Tiba-tiba ada seorang suster yang masuk ke ruanganku dengan kondisi ngos-ngosan. Diambilnya udara sebanyak mungkin lalu dibuangnya dengan kasar.

"Apa benar pasien yang bernama Alex Groxia?" Kujawab dengan anggukan. "Dan apa benar nama ibu anda Canxe Groxia?" Masih kujawab dengan anggukan.

"Kami dari pihak rumah sakit benar-benar meminta maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi tuhan berkata lain...."

Aku memotong ucapan suster itu. "Maksudnya?"

Suster menjawab dengan sangat terpaksa. "Ibu anda telah meninggal dunia akibat dibunuh oleh Wuri Telofika." Aku menangis sejadi-jadinya, sungguh, bulan ini kuanggap bulan penuh dengan kesedihan bagiku.

"Ibu anda masih di ruang UGD lantai 1 no 2." Lanjutnya.

Aku tak dapat berkata apapun.

"Baik Sus,  terimakasih atas infonya, kami akan segera kesana." Ucap Leo sambil menghelus lembut bahuku.

Suster itupun keluar. Leo mulai mengambil kursi roda.

Dipapahnya tubuhku. Leo hanya bisa diam, dia tau bagaimana rasaku saat ini.

"Ayahhhh!!! Mama udah pergi! Lantas untuk apa aku hidup?! Aku ingin mati!!!!!" Hati kecilku pun ikut menangis.

"Kamu masih layak untuk hidup, paling tidak hiduplah karena mereka yang pergi." Seperti bisa membaca pikiranku. "Maksudku, mereka pergi karena mereka tau, tugas mereka berada di sisi mu sudah cukup, kamu sudah sangat kuat jadi mereka memilih untuk menunggu kamu di sana." Lanjutnya.

Kuberhentikan kursi rodaku. Kutolehkan wajahku menghadap ke belakang.

"Apa suatu saat nanti kalian juga akan pergi?" Kuhadapkan wajahku kedepan.

Baru Leo ingin menjawab, aku sudah memotongnya. "Ya aku tau, pada akhirnya semua yang kupunya akan pergi meninggalkanku. Pada dasarnya mereka yang bersamaku akan bernasib sangat buruk. Jadi, kalo mau pergi, pergilah, emang duniaku hitam dan sendiri."

Leo mendorong paksa kursi rodaku. "Aku tidak akan pergi apapun yang terjadi."

"Cihh, omong kosong!" Ucapku perlahan sambil tersenyum miring.

"Aku bisa mendengarnya. Itu bukan omong kosong, melainkan perbuatan yang baru kutunjukkan melalui omongan."

Aku hanya bisa diam, hingga akhirnya aku berada tepat di sebelah mayit Ibuku.

Kupaksakan diriku untuk berdiri sambil dipapah oleh Leo.

Yang berada di depanku sekarang adalah, seorang wanita yang telah mengandung dan melahirkanku dengan susah payah!

Seorang wanita yang telah banyak mengajarkan ku untuk terus hidup.

Seorang wanita yang selalu jadi motivator ku diwaktu aku kecil.

Seorang wanita yang dulu pernah pergi dan kemudian kembali.

Seorang wanita yang pergi untuk kedua kalinya.

Dan kepergiannya kali ini untuk selama-lamanya.

Dia tidak akan kembali jika tuhan yang berkehendak.

Kupeluk erat mayitnya. Ku menangis sejadi-jadinya.

"MAMAAAAAAAAAAAA!!!!!! BANGUNNNNN MAAAA!!!! PASTI MAMA BERCANDA KAN?! HODIE TADI BUKAN UNTUK YANG TERAKHIR KAN MA?! BANGUN MA!!!!!"

Aku teriak di balik mayitnya. Kucoba gerakkan mayitnya tapi dia tak bergerak jika bukan aku yang menggerakkannya.

Leo memegang bahuku dengan lembut. "Percuma, sudah tidak ada, hanya raga yang tidak berisikan jiwa." Ucap Leo perlahan.

Entah kenapa emosi ku bergejolak hebat hari ini.

"TAU APA KAMU HEH?! APA KAMU PERNAH MERASAKAN INI SEMUA DALAM SEKEJAP MATA?! DULU AKU TERUS DICACI! DIHINA! DIMAKI! BUKAN UNTUKKU SAJA, MEREKA JUGA MEMAKI MAMA! SELALU SAJA ADA BAHAN EJEKAN BUATKU DAN KELUARGAKU! APA KAMU TAU RASANYA DIHINA DARI SD SAMPAI AKU BESAR INI?! DITEMANI OLEH ORANG-ORANG FAKE. DISAKITI OLEH MANTAN IBU TIRIKU. AKU SUDAH MENCOBA MENJADI BAIK TAPI SELALU DIANGGAP SAMPAH DI HIDUPKU. SELALU DIBENCI OLEH HIDUPKU SENDIRI! DITINGGALI OLEH ORANG-ORANG YANG SANGAT BERARTI DI HIDUPKU HANYA DALAM SATU BULAN INI! APA KAMU TAU RASANYA?! HUWAAAAAA!!!!! ARGGHHHHHH!!!!"

Tak sengaja aku pun membentak Leo. Leo terdiam sejenak lalu menangkup kepalaku di dalam pelukannya. Dia mencium puncak kepalaku.

"Menangislah lebih kencang!" Ujarnya sambil menghelus kepalaku. "Tumpahkan semuanya sekarang!" Aku mulai memberontak. Aku mulai menarik baju Leo dengan kesal, aku mulai berteriak histeris.

"Kita sama-sama manusia. Kita sama-sama mempunyai hati. Aku bisa merasakan apa yang tengah kamu rasakan saat ini."

Aku masih menangis dalam pelukannya, bahkan lebih keras.

Kudongakkan kepalaku. Kucoba memandangi sorot mata Leo.

"Aaa-aakuu...gak mauuu....ke-kemo-terapiiii...."

"Kamu harus melakukannya!" Leo menangkup wajahku. Ditempelkannya keningnya di keningku, hingga sangat terasa deru nafas Leo di wajahku.

"Teruslah hidup demi mereka." Leo melepaskan keningnya di keningku. Dia melihat ke arah Mama.

"Akuuu..." Aku terjatuh. "Gak sanggup." Lanjutku.

"Kamu pasti sanggup! Kamu hanya perlu waktu!"

"Kenapa dia terus menyemangatiku? Mengapa dia tidak pergi saja? Hidupku terlalu suram untuk ia masuki! Dan masih banyak wanita diluaran sana yang lebih pantas untuk ia miliki!" Batinku bertanya-tanya.

Aku terus mengahadap ke bawah sambil menangis.

Seperti biasa, dia seperti bisa membaca pikiranku.

"Karena aku yakin, kamu adalah wanita yang kuat, dan aku yakin kamu akan bisa untuk terus hidup. Dan aku tidak akan meninggalkanmu apapun yang terjadi, karena ada sosok ibuku di dirimu yang dulu belum bisa kubahagiakan."

"Maksudnya?" Aku mendongak sambil mengernyitkan dahi.

Leo tersenyum lalu memapahku untuk duduk di kursi roda. "Peluk, dan cium lah mayit ibu mu untuk terakhir kalinya."

Aku menurut. Cukup lama aku memeluk dan mencium Mama

Look At Me!!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang