Senyum Mama

7 0 0
                                    

Aku mengerjapkan mataku berkali-kali. Kucoba bangkit dari bangunku. Kududukkan tubuhku di atas tempat ini. Merasa haus, kucoba gapai segelas air minum di meja yang berada di sebelah tempat yang kududukin ini.

Kuminum dengan perlahan. Merasa puas, kutaruh kembali gelas tersebut ke tempatnya.

Suara pintu berbunyi. Seseorang membukanya. Dia berjalan menujuku, disusuli beberapa orang di belakangnya.

Dia berdiri tepat di samping ranjangku. Digapainya puncak kepalaku.

"Aku dimana?" Tanyaku kepada Mamah.

Mamah mengecup halus keningku. "Di rumah sakit sayang."

Aku terkejut, mencoba mengingat-ingat kenapa aku bisa ada di sini.

"Pulang ma." Pintaku.

Mama mengangguk pelan sembari tersenyum. Dipapahnya aku berdiri dari dudukku.

"Terimaksih sudah membawaku." Mereka bertiga tersenyum.

"Mama akan membayar administrasinya dulu." Mama pamit, lalu pergi deluan meninggalkan kami.

Tubuhku sekarang sedang dipapah oleh Andini.

"Ceritanya gimana sampai kamu terkunci di wc itu?"

"Aku gak tau An, sewaktu aku mau keluar, tiba-tiba saja pintunya gak bisa kebuka, juga wc yang aku masukin itu jauh dari wc yang lain, lebih tepatnya tidak ada yang berani masuk kecuali aku."

Aku menggeram menahan sakit di kepalaku.

"Kepalamu sakit?" Leo waswas.

Aku langsung menggeleng kasar, "Hanya memjiat kepalaku sendiri."

Aku dan Andini berjalan lebih depan dari Leo dan Rean.

Leo dan Rean juga asik mengawasi kami dsri belakang.

"Lu gimana pulangnya?" Rean berbisik ke telinga Leo.

"Gue pake mobil, lu pake motor ye?" Leo berbisik juga.

"Ye elu!"

"Pelit lu." Leo memelas.

"Hmmm ya sudah, kalo gitu, gue sama Andini deluan ya."

Mereka semua sudah sampai di pintu utana rumah sakit ini. Andini dan Rean pamit deluan karena hari juga sudah malam. Pasti orang tuanya Andini akan khawatir walaupun sudah diberitahu.

"Duduk sini dulu." Leo mendudukkan ku di kursi yang berada di halaman depan rumah sakit ini.

Aku membuka mulut ingin bicara. "Lee? Oo?"

"Iya? Ada apa?"

"Bukankah lebih baik aku tidak ada di dunia in---"

Omonganku tak dapat kuselesaikan. Jari telunjuk Leo sudah deluan mendarat di bibir tipisku ini.

"Jika kamu lebih baik tidak ada di dunia ini? Lantas mengapa kamu hidup? Kamu hidup berarti kamu berhak merasakan dunia hijau ini bukan?" Leo balik bertanya.

"Ta-tapi?" Ucapanku tersenggal.

"Mereka yang berbuat jahat padamu? Sudahlah Lex! Mereka begitu karena mereka tidak tahu duniamu bukan?"

Aku mengangguk lesu.

Lalu kutatap wajah Leo dengan tajam. "Bagaimana bisa kamu sangat pandai dalam menyembunyikan masalahmu?"

Leo terdiam tersenyum halus melihatku.

Dipangkunya pipiku sambil dihelusnya. "Masalah tidak harus diumbar-umbar. Masalah tidak harus dipublikasikan. Yang harus publik tahu bahwa kita baik-baik saja dan bahagia."

Aku terdiam di pangkuan tangannya.

"Kamu betul." Aku masih berfikir.

"Jadi? Apa yang harus kulakukan?" Aku bertanya pada Leo.

"Jalani saja hidupmu dengan sebisamu. Hidup ini adalah permainan. Akhir dari permainan pasti semuanya adalah mati bukan? Jika bukan mati yaitu kekalahan dan kemenangan? Jika kamu merasa muak, tenang masih ada yang menyayangimu..... Seperti aku."

Leo mengecup halus keningku. Aku bersyukur memiliki dia di dunia ini.

"Kamu janji gak bakal pergi?" Masih bertanya.

"Janji! I'm promise about that baby!" Leo mengucapkan itu dengan tegas.

"Terimakasih!" Kupeluk erat tubuhnya dan ia membalas pelukan ku.

Mama ternyata sudah cukup lama dengan urusannya tapi memilih menonton kejadianku dengan Leo.

Look At Me!!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang