Terbongkar

9 1 0
                                    

"Em maaf, aku---"

"Gak apa-apa, emang mungkin udah saatnya kamu tau semuanya." Leo tetap menampakkan senyumnya.

"Bukan kah kamu sendiri yang bilang? Jangan memaksakan senyum dan ketawa kalo lagi sedih?"

Leo menarik nafas dengan kasar lalu membuangnya dengan kasar pula. "Aku kan tetap bahagia jika selalu berada di sisimu."

Kucoba mengganti topik, "Dan apa maksudnya kamu dan Gloria?"

"Penjodohan, entahlah aku juga pusing!"

"Bukannya Gloria sudah--"

Leo memotong lagi, "Aku sudah bilang sama kamu Lex, cewek kayak dia gak bakalan bertaubat! Kamu malah langsung percaya aja!"

"Maaf tapi aku gak tau. Jadi? Kita gak bisa bersama untuk selamanya?" Entahlah hanya saja air itu keluar lagi dari mataku dan mata Leo.

Leo memegangi tangan kiriku dengan erat, dicumnya beberapa kali punggung tangan ini, dan terus menempelkannya pada pipinya.

"Hufttt, kamu ingat? Waktu hari jadi kita, aku berjanji tidak akan pernah meninggalkanmu, dan bukankah kamu yang menawarkan perjanjian itu? Lantas kenapa kamu menyerah begitu saja?"

Aku melepaskan tanganku dari tangannya. Kubalikkan badanku membelakangi dirinya.

"Karena aku cewek yang sakit-sakitan dan hanya tau berkeluh kesah gak jelas! Sedangkan Gloria? Dia cantik, apa yang dia mau pasti akan dia dapatkan, dia juga tidak sakit-sakitan kayak aku! Dan aku mau kamu--"

"Kamu mau aku sama dia?!" Leo memotong perkataanku lalu berlari ke arah tubuhku menghadap.

"Yo aku sadar diri! Aku gak pantes memiliki kamu! Dunia aku terlalu suram! Kamu berhak bahagia!"

"Dan kamu juga berhak bahagia untuk selamanya! Kamu berhak bersamaku untuk selamanya!"

Leo langsung memelukku. Kami sama-sama menangis deru di dalam pelukan ini.

"Aku hanya tidak mau kamu--" Leo menutup bibirku menggunakan jari telunjuknya.

"Bahagiaku jika terus bersamamu, kumohon jadilah wanita kedua yang selalu ada untukku setelah ibuku."

"Terima kasih. Apa kamu mau menungguku? Iya kalo aku sembuh kalo aku ma--"

Lagi-lagi ucapanku dipotong oleh Leo. "Aku percaya bahwa keajabian pasti akan selalu datang."

Cup!

Leo menyium keningku dengan sangat lembut dan lumayan lama.

"Temanin aku selama kemoterapi yah?"

Leo melepaskan ciumannya.

Dia tersenyum, sangat halus dan lembut ukiran senyuman di bibirnya itu.

"Aku kan selalu menemani kamu apapun yang terjadi. Pokoknya kamu harus semangat melawan sakit kamu ini! Sakit ini hanya sebentar kok sayang."

"Iya aku yakin aku bisa. Selama orang-orang yang aku sayangi masih ada di sini, aku bakalan tetap semangat."

Leo kembali mengacak-acak rambutku.

"Dan maksudmu mengadili Papa kamu apa?"

Tiba-tiba Leo tertunduk lemah. Sekujur tubuhnya gemetaran gak jelas.

Kulihat air itu keluar lagi dari matanya, bahkan lebih deras. Kucoba dudukkan tubuhku dengan susah payah.

"Duduk sini!" Ucapku perlahan.

Leo duduk tepat di atas kasur ini di sebelah diriku.

"Ada masalah yang masih belum boleh kuketahui?" Ucapku masih perlahan.

"Aku sudah tau kalo Mama telah meninggal, tapi apa maksudnya mengadili Papamu?" Batinku sangat kepo.

Dengan susah payah akhirnya Leo membuka mulutnya. Dilihatnya mataku dengan sangat tajam.

"Mamaku sudah meninggal karena dibunuh oleh seseorang!" Kututup mulutku menggunakan tanganku. "Dan yang membunuhnya adalah Wuri Telofika."

Kali ini aku tak bisa diam saja.

"Wuri?!" Kumenaikkan alis sebelahku. "Mantan ibu tiriku?!" Hanya dijawab oleh anggukan.

"Dia juga mantan ibu tiriku selama aku masih di dalam kandungan."

"Aku tau itu."

"Dan katanya Rio adalah anak dari Wuri dan Revildro nika-Papaku."

"Tapi? Kok sedikit gak nyambung yah?"

"Entahlah, tapi yang aku yakin, Papa tidak akan menyetubuhi seorang perempuan kalo belum ia nikahi. Dan itu sudah kubuktikan."

Mataku terbelalak tak tau apa maksudnya. "Maksudmu?"

"Iya. Rio bukan anak dari Papaku. Wuri begitu hanya karena harta. Dan ia juga bersekongkol dengan Papa dalam pembunuhan Mamaku."

"Kamu tau darimana semua itu?"

Leo membuang nafasnya kasar. "Aku dan Om ku bekerja sama, kebetulan Omku adalah polisi dan ia juga kakak kandung dari Mamaku."

Aku mengangguk faham. "Kenapa kalian tidak langsung memenjarakannya?"

"Papa sempat mengancam, jika aku beneran melakukan hal itu, maka orang-orang yang aku sayangi bakalan tidak ada lagi di dunia ini. Aku sempat percaya akan ancamannya itu karena aku bodoh hahaha. Tapi sekarang aku sadar bahwa ancamannya hanyalah basa-basi saja."

Kulihat dia masih saja menangis. Sorot matanya menandakan balas dendam yang amat mendalam.

Leo menelpon seseorang.

"Tolong tangkap mereka dengan semua bukti yang sudah kita kumpulkan!"

"Baik, are you ok?" Terdengar suara dari seberang sana.

Leo tidak memerdulikan pertanyaan pria tadi.

"Beri hukuman yang sangat pantas mereka dapatkan! Jika perlu hukumannya adalah tembak mati!"

"Mereka paling hanya masuk penjara sel--"

Leo memotong. "Terserah."

"Ini lagi melacak mereka, Revildro Nika sudah terdeteksi dimana ia berada, sedang Wuri Telofika, masih dalam pencarian."

Leo memutus telepon sebelah pihak.

Pria itu tersenyum miring, "Dendammu belumkah usai? Sama!"

Look At Me!!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang