Hujan, Payung,...

575 75 10
                                    

Alysa Milania namanya, yang sering gemas dengan orang yang nggak suka sama hujan. Mata mereka selalu menyorot kesal dengan mulut yang terus mendumal tidak jelas,

'Ck! Ngapain sih pake ujan??? Gue kan mau ini, gue kan mau ke itu, blah blah blah..'

Sasa mendecih tiap kali mendengar itu.

Nggak tau aja mereka gimana asiknya dengerin musik ballad waktu hujan turun, se-nagih apa sentuhan rintik air yang jatuh ke telapak tangan, gimana asiknya melamun dibarengi suara hujan, gimana sedapnya bau yang menguar dari tanah yang basah.

Sasa yakin mereka nggak tau.

Mungkin mereka juga nggak akan paham, gimana leganya menangis tanpa diketahui orang lain sebab isak terbenam suara hujan dan air mata yang menyatu bersamanya.

Sekali lagi, Sasa yakin mereka nggak akan paham.



Sore itu tanpa diduga hujan yang lumayan deras jatuh mengguyur pelataran kampus. Tiba-tiba sekali, padahal seharian ini cuaca panas dan tidak ada mendung. Semesta seolah mengerti apa yang diinginkan Sasa sekarang.

Gadis itu tersenyum tipis mengamati sebagian orang yang kelimpungan mengamankan helm beserta jaket mereka atau sekedar mencari tempat berteduh. Menunduk menatap benda yang sedari tadi Ia genggam, Sasa lantas mendekati asal sosok yang berada tak jauh dari jangkauan matanya.

"Mau kemana?"

Sempat hening beberapa saat sebelum orang itu menjawab. "Rektor?"

"Oh, pake nih."

Sasa langsung menyodorkan payung lipat itu kedepan cowok yang—astaga!—sempat membuatnya terpana sesaat karena kontur wajahnya yang nyaris sempurna itu.

"Nggak dipake emang?" tanya si cowok.

"Udah sih pake aja. Gue duluan ya."

"Eh eh! Tapi—"


Sasa enggan sekali membayangkan kesan apa yang Ia dapat dari lelaki yang Sasa yakin adalah kakak tingkatnya di kampus itu. Pun pada tatapan-tatapan yang Ia terima dari beberapa orang yang kebetulan berada di sekitar mereka. For God sake, Sasa tidak peduli.

Karena begitu air hujan jatuh mengenai tubuhnya, Sasa kembali lagi menjadi dirinya sendiri. Tanpa topeng.



***

Katanya hidup itu pilihan. Tapi nyatanya kita hanya sebagian kecil dari cerita semesta yang tidak bisa memilih bagaimana kisah kita akan berjalan dan kemudian berakhir.

Semua sudah digariskan sejak awal. Tidak bisa diubah lagi.

Seperti pertemuannya kembali dengan si cowok payung itu--Sasa dengan ngawur menyebutnya begitu--Seperti sudah lama sekali sejak Sasa lupa soal eksistensi payung hitam itu, dan kini teringat lagi, karena sosok ini.

"Maaf kak, maaf." cicit gadis di belakang Sasa.

Sasa jadi bingung, yang barusan nabrak si cowok ini kan dia? Ngapain jadi Helen yang minta maaf?

"Ngapain masih di sini? Masuk." ujar si cowok sok galak.

Helen sudah menggamit lengan Sasa tapi langsung dilepas.

"Gue nggak bisa, Len. Udah terlanjur kebeli tiketnyaaaa!" ujar Sasa, kesal juga gemas.

"Halah, Pram bisa ditonton besok-besok! Ini nasib percintaan temen lo, tega banget ih!" desis Helen—ngomongnya sambil bisik-bisik karena si cowok tadi masih di belakang mereka.

Sasa baru akan berbalik dan melarikan diri sebelum punggung dan tubuh bagian belakangnya ditubruk sesuatu yang keras, lalu sesuatu yang keras itu mendorong tubuhnya agar berjalan maju.

"Eh eh??"

Ketika Sasa hendak menoleh, suara ini terdengar, begitu jelas tepat di belakangnya.

"Masuk. Jangan ngalangin jalan."

Sasa nggak bisa berkutik karena kali ini tangan si cowok itu ikut andil mendorong bahunya.

Helen yang sumringah karena mendapat bantuan langsung membuka pintu lebar-lebar dan masuk. Lalu Sasa hanya bisa pasrah ketika dirinya ditarik paksa untuk duduk.

“Besok gue traktir gacoan. Serius ini.” bisik Helen sambil terkikik bahagia.

Sasa hanya mendecih. Sekali lagi, usahanya gagal. Sasa teramat ingin menonton film garapan ‘bocah’ yang banyak orang bilang sukses menguras air mata itu. Sebab, entah, Sasa lupa kapan terakhir kali Ia bisa menangis.

Tetapi kini malah dirinya terjebak pada rapat UKM Radio Kampus yang kebanyakan diikuti oleh kaum lelaki.






"Anjir, kak Mikha! Ganteng banget!!!"

Sasa bisa mendengar jeritan yang Helen tahan diujung lidahnya. Senggol dikit ambyar tuh.

Jadi, sebenernya visi misi seorang Helena join di UKM ini ya karena itu, si cowok bernama Mikha yang menjabat sebagai ketua UKM itu. Cuma itu, no others reason. Emang dasar anaknya aja yang seniat itu.

Meskipun sebagian besar UKM ini beranggotakan para cowok, tapi sejauh ini rapat berjalan kondusif—yah walaupun Sasa harus menahan pusing dan batuk karena asap rokok yang tak berhenti mengepul sedari tadi.

"...kalo yang ini namanya Jefri. Jef diri Jef!"

Sasa yang sedang menunduk, perlahan mengangkat kepalanya. Cowok yang tadi mendorongnya masuk itu kini sudah berdiri disamping Mikha.

Dia memamerkan lesung pipinya, lantas berujar "Halo, gue Jeffrey."

Suaranya seperti menggema diseisi kepala Sasa. Helen seketika histeris.

" Jeffrey ya, bukan Jefri apalagi Jepri." jelasnya lugas, yang mana mengundang sahutan-sahutan tidak terima para senior di deretan bangku depan.

"Nggak usah sok England lo, this is Jawa man!" seru lelaki bertindik yang berpenampilan sangar tetapi tetap kelihatan imut sebab wajahnya masih bayi sekali. Helen bilang, namanya Kak Jovan.

Jeffrey mengibaskan tangan, terlihat malas menanggapi ocehan temannya.

"Teknik komputer semester 6, dan masih menjabat sebagai sekretaris dan penyiar utama disini." lanjutnya dan diakhiri dengan senyum yang kelewat manis dilihat.

Sampai lelaki itu kemudian duduk dan Mikha lanjut memperkenalkan anggota yang lain, Sasa masih terus menatapnya.










Jeffrey..

Diam-diam Sasa mencatat satu nama itu dalam otaknya.



















Bersambung ke "...dan Dia"👉

[✔] NUMBTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang