Henley
Selama setengah jam pertama, perjalanan terasa mulus. Musik melantun keras dan Bennett menutup mulutnya. Kemudian setelah tepat satu jam di jalan, dia menurunkan volume musiknya.
"Aku akan memarkirkan mobilku di luar kota, sopir akan menjemput kita dan mengantarkan kita menempuh sisa perjalanan," dia mengatakan kepadaku.
"Kenapa kita tidak berhenti saja di stasiun lalu naik kereta?"
Dia mengernyitkan hidungnya. "Kenapa aku harus naik transportasi umum yang kotor ketika aku memiliki supir yang dapat bayaran untuk menyetir di jalan?"
Walaupun aku juga bukan penggemar transportasi umum, aku tidak akan mengatakan hal sejauh itu. Kereta bawah tanah dan kereta listrik sangat berguna di kota yang padat. Perjalanan akan jadi lebih lama dari yang dibutuhkan karena lalu lintas yang padat daripada menaiki transportasi umum di kota. Tapi aku tidak mendebatnya. Aku sadar kata-kataku hanya akan masuk ke telinga yang tuli. Bennett nampaknya adalah tipe orang yang akan melakukan apa pun yang dia inginkan tidak peduli apa pun yang dikatakan orang lain.
Dan aku dibayar untuk melakukan ini, jadi aku tidak bisa bicara banyak.
"Ke mana kita akan pergi?" tanyaku, menunduk ke arah sneaker bututku. Semoga saja ke mana pun kami akan makan, tempat itu tidak memiliki aturan berpakaian. Jika tidak maka aku akan gagal secara spektakuler.
"Ini kejutan," dia menjawab.
"Jadi aku akan menebak kalau apa yang kukenakan tidak sesuai."
"Menurutmu itu sesuai?"
Aku menutup mataku sejenak, mencoba untuk tidak merasa terhina. "Aku tidak bisa menemukan gaun yang kumiliki. Maaf."
"Kau tidak perlu meminta maaf," ucapnya sambil lalu. "Kemungkinan besar aku akan membuatmu mengganti pakaian."
Bernapas, Henley, bernapas. "Apa kau harus terdengar merendahkan ketika bicara denganku?" aku bertanya, menoleh dari kursiku untuk memberinya tatapan tidak suka.
Dia terlihat terkejut. "Apa aku terdengar merendahkan?"
Dia bahkan tidak menyadarinya? Oh man, aku sedang menghadapi jenis istimewa dari arogan. Pola pikir seperti apa yang dimiliki pria ini? Jika aku harus menghadapi hal seperti ini sepanjang malam, aku tidak yakin bisa bertahan.
Sesuai janji, Bennett memarkirkan mobilnya di garasi parkir dan meminta kami dijemput oleh seorang pria berjas yang mengendarai BMW yang tampak lebih sederhana. Kami berdua naik ke kursi belakang dan setelah kami sudah duduk, sopir mulai melajukan mobil. Gedung di sekeliling kami menjadi semakin tinggi dan jalanan menjadi semakin sempit, aku tahu kami semakin dekat dengan jantung kota. Sesuai dugaan, kami terjebak macet. Aku menduga Bennett akan mengeluh, tapi dia menutup mulutnya, hanya menatap ke luar jendela. Aku mengalihkan perhatianku ke luar jendela di sebelahku, memperhatikan kerumunan orang di trotoar yang masuk dan keluar dari lingkungan bisnis dan apartemen. Kerumunan biasanya menggangguku, tapi mereka lebih cocok berada di kota. Dengan cara yang menyenangkan secara estetika.
"Menepi di sini," Bennett mendadak memerintah, dan mengejutkanku. "Henley, kita keluar."
Sopir melakukan apa yang diinstruksikan dan aku langsung membuka pintu mobil, menginginkan udara segar. Aku melihat ke sekeliling, tidak tahu di mana kami berada. Yang kutahu hanyalah kami tidak berada di Times Square. Semakin bertambah usiaku, semakin jarang aku pergi ke kota. Udaranya terasa sesak dan temperatur setidaknya sepuluh derajat lebih tinggi dari di Poughkeepsie.
"Sebelah sini," ucap Bennett dan meraih tanganku dengan tangannya.
Aku memperhatikan tangan kami, bertanya-tanya apakah seharusnya aku menarik tanganku menjauh. Tapi dia mungkin akan menyebutkan berpegangan tangan adalah bagian dari kontrak, jadi aku memutuskan untuk diam saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hired to Love (Direkrut untuk Cinta)
Любовные романыHenley setuju untuk berpura-pura mengencani seorang billionaire Bennett Calloway demi bayaran, jatuh cinta tanpa terduga-duga - bagaimana bisa dia terlibat atas tuduhan palsu saudara laki-lakinya? ***** Saudara laki-laki Henley Linden berada di penj...