Bennett
"Mr. Calloway, bangun. Ibumu ingin bicara denganmu."
Aku mengangkat kepalaku dari meja dan menatap dengan suram ke arah Henry, yang sekarang berdiri di depan mejaku, dengan ponsel di tangannya. Ibuku? Mendadak waspada, aku duduk lebih tegak dan menjernihkan tenggorokanku. "Kenapa dia tidak menghubungiku terlebih dahulu?"
Dia dengan cepat meredam suara ponselnya. "Kurasa dia tahu kau tidak akan menjawabnya."
"Apa dia sudah kembali?"
"Belum. Dia bilang dia memiliki suatu hal yang ingin dikatakan kepadamu."
Aku merasa ragu. Apa dia sudah mengetahui kalau aku mengganti kuncinya? Atau mungkin kamera keamanan akhirnya mati dan dia mengetahuinya? Dengan bingung, aku mengambil ponsel dari Henry dan mematikan peredam suaranya. "Ya, ibu?"
"Apa kau tidur?"
"Tidak," aku berbohong.
"Kau sudah menyelesaikan pekerjaanmu untuk hari ini?"
Aku melirik ke arah tumpukan kertas kerja di atas mejaku: rencana untuk lokasi baru, ide untuk promosi baru, beberapa rencana pesangon untuk salah seorang pegawai yang dipecat di California, sebuah kertas yang meminta pembaruan sertifikat OSHA, insiden penggajian yang akuntan kami ingin agar aku memeriksanya kembali. Dan entah apa lagi yang ada di dalam tumpukan kertas yang masih belum kuperiksa.
"Kau mendengar tentang California—"
"Gempa bumi atau pemecatan karyawan? Aku mendengar keduanya," aku menyelanya, merasa sakit kepalaku kembali muncul.
"Mereka memiliki KPI terendah di antara hotel-hotel kita. Kau sudah hubungi mereka tentang hal ini?"
Aku melotot ke arah Henry, yang sekarang mengangkat tangannya dengan defensif. Inilah kenapa aku tidak ingin mengangkat telepon ibuku. "Kenapa kita harus mengatakan sesuatu yang mereka sudah ketahui? Mereka mungkin sudah stres tentang ini—"
"Aku yang akan melakukannya kalau begitu. Jelas sekali kau merasa simpati kepada mereka, walaupun mereka sudah memberi dampak buruk pada perusahaan kita."
Aku mengepalkan tanganku yang bebas menjadi sebuah tinju. "Baiklah. Silakan lakukan dan tangani masalah ini sendiri. Sudahkan? Aku punya pekerjaan untuk diselesaikan."
"Itu bukan alasan aku menghubungimu. Michelangelo's adalah restoran kesukaanmu benarkan?" dia bertanya retorik. Dia tahu segala hal tentang hidupku tidak peduli apakah aku menginginkannya atau tidak. "Datanglah jam delapan tepat besok. Berpakaianlah yang rapi."
"Kenapa?" aku bertanya dengan hati-hati. Jika ini adalah pertemuan lain dengan pemimpin perusahaan yang sudah tua, dan botak, aku bersumpah kepada Tuhan—
"Anak perempuan dari Cecil Castrilli ingin bertemu denganmu, jadi aku mengatur kencan untukmu dan dia. Ini adalah kesempatan bagus untuk berada di sisi baik keluarganya. Jangan kacaukan hal ini."
"Sebuah kencan?" tanyaku. "Aku punya seorang kekasih—"
"Tidak kau tidak punya kekasih. Kau punya seorang gadis yang sedang kau kencani, dan aku masih belum menyetujuinya."
"Itu bukan—"
"Dan tidak akan ada masalah bagimu untuk bertemu dengan anak perempuan Cecil. Kau akan datang kesana pada pukul delapan. Kau tidak akan membatalkannya. Kau akan memperlakukan dia dengan baik dan meminta kencan kedua di penghujung malam."
Aku berusaha keras menahan dorongan untuk melemparkan ponsel ini ke ujung ruangan. Dia mengatur kencan untukku? "Ini bukanlah bagian dari kesepakatan kita."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hired to Love (Direkrut untuk Cinta)
Roman d'amourHenley setuju untuk berpura-pura mengencani seorang billionaire Bennett Calloway demi bayaran, jatuh cinta tanpa terduga-duga - bagaimana bisa dia terlibat atas tuduhan palsu saudara laki-lakinya? ***** Saudara laki-laki Henley Linden berada di penj...