Bab 30

20.4K 917 23
                                    

Bennett

Vzzzt, vzzt, vzzt.

Suara dengungan mengisi kepalaku yang sakit, kuraba-raba sekeliling kasur untuk menemukan ponselku. Tapi apa yang kuraba justru langsung membuatku terbangun. Henley berada tepat di sebelahku di atas kasur, terbalut selimut sutraku, dan hanya mengenakan bra.

Sebelum aku sempat terkesiap, dia membuka satu matanya, dia bahkan tidak mau repot-repot mengangkat wajahnya dari bantal. "Apa kau baru saja menyentuh dadaku?"

Wajahku mulai merah padam lalu aku terbatuk, sadar kalau mulutku benar-benar kering. "Ya. Tidak sengaja," kataku serak. Lidahku terasa seperti amplas.

Henley meringis, menutup matanya rapat-rapat. "Aku mau marah, tapi aku merasa seperti mati. Mulutku kering seperti gurun..."

"Dimana pakaianmu?"

Seolah baru saja sadar dia tidak mengenakan pakaian, Henley bangkit, selimut merosot menuruni tubuhnya. "Setidaknya kau bisa berpura-pura tidak melihat!"

Butuh beberapa detik untuk memahami kata-katanya. Saat itu terjadi, aku menolehkan kepalaku ke kiri, membuat palu terasa menghantam kepalaku. "Ow."

"Crap, aku bahkan tidak punya baju untuk dikenakan," dia menghela napas.

"Dimana pakaianmu?" tanyaku lagi, menutupi mataku dengan tangan. Sebagian karena ingin memberikannya privasi, sebagian lagi karena sedikit cahaya yang masuk lewat jendelaku terasa seperti matahari yang berkobar.

"Henry muntah mengenainya. Kau tidak ingat?"

Aku mencoba mengingatnya sebentar. Rasanya sakit untuk berpikir. "Tidak."

Henley menepuk-nepuk pundakku dan aku membuka mata, melihat bagaimana dia melilitkan selimut ke sekeliling dadanya. "Ya, rasanya seperti semua minuman itu menghantammu sekaligus. Satu detik kau hampir memecat Henry karena muntah, kemudian kau memeluknya dan mengatakan kepadanya betapa kau menghargai apa yang dia lakukan. Dengan semua muntah yang ada di tubuhnya."

Kepalaku tersentak dan menunduk. tersadar kalau aku juga tidak mengenakan baju.

"Kau tidak mengenakan baju karena kita melakukan perbuatan yang kotor," katanya begitu saja.

"Aku— kita— apa—" aku tergagap, tidak yakin apakah rasa mual yang kurasakan disebabkan oleh kata-katanya atau pengar. 

"Kau tahu, kita mengikat simpul kekasih sejati."

"Maafkan aku," kataku akhirnya, kesulitan menjaga diriku tetap tenang.

Dia memiringkan kepalanya padaku dengan penasaran. "Kau menyesal?"

"Kau tidak bisa memberikan persetujuanmu saat minum dan aku tidak bisa mengingat, jadi jika aku memaksamu melakukan sesuatu..."

"Wow," katanya, mata biru itu melebar. "Kau sungguh orang yang baik. Aku merasa buruk karena sudah membuat hal itu sebagai lelucon sekarang."

"Lelucon?"

Dia tersenyum malu-malu. "Kita sebenarnya tidak melakukan apapun. Ketika kau memeluk Henry kau terkena muntah di seluruh pakaianmu, jadi aku membukanya."

Hired to Love (Direkrut untuk Cinta)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang