Bab 1

236K 5.5K 126
                                    


Henley

"Hattie, meja nomor empat sudah menunggu lebih dari dua menit untuk seseorang datang dan mengambil pesanan minuman mereka," Collin, manajer yang sedang bertugas, berkata ketika dia sedang berjalan di sampingku menuju ke stan hostes.

Aku mengerjap padanya, mencoba mengabaikan fakta bahwa pria itu telah salah menyebut namaku untuk yang keseribu kalinya sambil bertanya-tanya apakah dia tidak melihat tanganku dipenuhi piring makanan untuk meja yang berbeda sebelumnya. Ketika dia melirik dari bahunya dan mengerutkan kening ke arahku, aku memberinya senyuman palsu terbaik yang bisa aku hasilkan. "Aku akan segera ke sana."

"Bagus."

Memutar bola mataku, aku bergegas kembali ke meja nomor tujuh. Aku benci meja nomor tujuh. Aku tidak tahu apakah meja itu memang meja keberuntunganku, atau justru kutukan, tetapi siapa pun yang duduk di sana pada akhirnya selalu menjadi tamu paling kasar dan paling kejam dan paling suka merendahkan manusia lain di muka bumi ini. Kali ini ada sekelompok pengusaha berjas ramping yang selalu seakan ingin mencoba membuka bajuku setiap kali aku membungkuk untuk membersihkan piring atau gelas.

"Chicken Cordon Bleu," aku mengumumkannya ketika meletakkan salah satu piring di hadapan seorang pria berperawakan besar yang mengenakan dasi bintang-bintang.

"Sedap," komentarnya dan aku tidak tahu apakah dia sedang berbicara tentang dada ayam itu atau dadaku.

Tentu saja, aku menahan lidahku. Jika aku terus bersikap cukup baik, orang-orang ini pasti akan memberiku tip dengan murah hati.

"Apakah ada lagi yang kau butuhkan sebelum aku pergi?" tanyaku seusai meletakkan semua hidangannya. Tolong katakan tidak, aku memohon dalam hati.

"Tolong Blue Moon-nya lagi," si Bodoh Berdasi Bintang-Bintang itu memintanya.

Aku tersenyum padanya. "Segera."

Ketika aku berbalik, aku melihat Collin menatapku dan menunjuk ke meja nomor empat dengan panik. "Apakah hanya aku satu-satunya yang bekerja di sini?" aku bergumam pada diriku sendiri ketika aku berbalik ke arah meja yang dimintanya. Menyadari hanya ada dua orang yang duduk di situ, aku merasa bisa sedikit lebih tenang. Setidaknya ini akan lebih mudah.

"Hai, aku Henley, aku yang akan bertugas melayani pesananmu malam ini," aku menyapa mereka, menawarkan keduanya senyuman lebar.

Kedua pria itu menoleh ke arahku di saat yang bersamaan dan seketika aku merasa kepercayaan diriku menurun saat aku mengenali kedua manusia itu. Mereka datang setidaknya seminggu sekali dan mereka berdua sangat rupawan. Sampai di titik ini aku mengira sudah terbiasa dengan pria tampan dan wanita cantik datang ke restoran ini, tetapi nyatanya perasaan rendah diri itu tidak pernah hilang. Terlebih mereka ini berasal dari kalangan benar-benar atas. Malam ini mereka berdua mengenakan kemeja dengan lengan baju tergulung yang memperlihatkan vena mereka. Salah satu dari mereka mengenakan kemeja hitam dengan dasi putih, sementara yang lain memakai kemeja putih dengan dasi hitam. Aku tidak tahu apakah itu memang disengaja atau tidak, tetapi mereka adalah duo yang sangat hebat.

Semua ini membuatku sedikit kesal. Kenapa orang-orang kaya sangat menarik? Apakah masih belum cukup dengan hanya memiliki kelebihan uang? Kenapa mereka harus mencuri semua kesempurnaan wajah juga? Ini sangat tidak adil. Atau mungkin aku yang terlalu menyedihkan.

"Nama yang aneh, tapi kurasa itu tidak penting," kata pria di sebelah kanan, nadanya lembut dan penuh akan rasa ingin tahu. Dia memiliki rambut gelap, dengan bagian depan bergelombang yang ditegakkan ke atas. Sementara bagian belakangnya ditata sehingga tampak kusut. Dia mengamati wajahku, matanya yang hijau gelap menyipit.

Hired to Love (Direkrut untuk Cinta)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang