quarte

1.3K 242 16
                                    

Rue

Gua selalu benci sama orang yang menganggu waktu bersenang-senang gua. Anehnya kalo Sergan atau Vernon yang resek, gua nggak bisa benci, palingan kesel aja pengen matahin batang leher mereka.

Vernon ini bartender di salah satu bar langganan gua, orangnya friendly dan nggak banyak bacot kaya Sergan, walaupun kadar reseknya sama aja. Kaya sekarang nih gua lagi ngobrol sama cewek yang namanya udah gua lupa karena kedatangan Sergan yang begitu cepat dan langsung menarik gua pulang, yang gua yakini pasti si Vernon yang telpon karena ngeliat gua lagi berduaan sama cewek. Ck, dasar, bilang aja iri.

"Apaan sih?" tanya gua nggak seneng karena ditarik keluar sama Sergan dan menepis tangannya yang menarik kerah kemeja gua seperti anak kucing. Karena hal itu, gua lalu limbung dan berakhir menabrak seorang pria dengan pacarnya atau nggak tau deh siapanya, soalnya ketutupan sama badannya.

"Lu tuh!" ujar Sergan menarik gua. "Pardon, Monsieur!" lalu menarik gua menjauhi pria tadi.

Tadinya gua udah mau misuh-misuh aja soalnya Sergan bawa sepeda sementara gua harus jalan kaki ke rumah yang jaraknya lumayan juga, tapi ya udah lah mau gimana lagi, jam segini bis kota udah nggak bakalan ada, taksi mahal.

Gua bisa ke Le Pirates juga sebenernya dibayarin taksi sama klien setelah janjian bahas project baru buat agensi modelnya. Padahal niatnya gua mau minum-minum ringan aja disini dan minta si Vernon nganterin gua balik kalo jam kerjanya dia udah habis tapi dia malah nelpon si Sergan.

"Mabok nggak lu?" tanya Sergan yang mengayuh sepedanya tepat di samping gua, menyamankan kecepatan sepedanya dengan gua.

"Nggak. Masih sadar," jawab gua seadanya sambil berjalan menyusuri Rue Oberkamf yang ramai banget malam ini, kayanya gara-gara Le Mur nya diganti.

"Rue."

"Apa?"

"Lu masih suka mikirin dia nggak sih?"

"Tadi gua ketemu klien. Katanya mau project bareng kita buat agensi modelnya. Gua udah tanda tangan kontrak soalnya dia berani kasih harga mahal."

"Rue, gua na—"

"Kerjaan lu yang prewedding udah kelar belom? Gua bantuin deh yuk, malem ini begadang kita."

"Jawab aja sialan, nggak usah ngeles!" ujar Sergan kesel soalnya gua nggak jawab pertanyaannya mulu.

Alih-alih menjawab, gua hanya diam, menikmati angin musim dingin yang sebentar lagi akan berubah jadi angin musim semi yang hangat, yang sialnya malah mengingatkan gua pada seseorang yang tengah dibahas oleh Sergan sekarang.

"Musim semi tuh cantik tau! Banyak warnanya!"

Gua ingat jelas bagaimana dia tersenyum sambil mengagumi kecantikan musim semi di Negeri Matahari Terbit itu, tempat pertama yang gua kunjungi bersamanya setelah gua dan dia sama-sama punya jadwal kosong diantara padatnya kesibukan kita.

"Jadi selama ini mainin banyak cewek tuh cuma pelarian doang?" tanya Sergan mengganti pertanyaan dengan topik yang masih muter-muter di hubungan gua dan cewek yang membuat gua merasa hampa tanpa presensinya entah sejak kapan dan entah karena apa gua merasa demikian.

"Lu mending cari pacar deh," balas gua yang masih enggan membahas soal hubungan gua yang abu-abu itu. Dibilang jadian pun kita nggak jadian, lebih tepatnya gua yang nggak memperjelas status diantara gua dan dia yang anehnya masih begitu sabar menghadapi gua yang bahkan nggak tau soal arti sebuah ikatan.

Mungkin itu efek broken home gua juga, yang dari kecil udah dioper sana sini sama mami papi sampai akhirnya dibiarin tumbuh seorang diri dengan uang yang bahkan terlalu fantastis untuk seorang bocah SD.

MONOCHROMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang