Sergan
"Rue," panggil gua, namun nggak ada jawaban. Kali ini gua mencoba mengetuk pintu kamarnya lagi sambil memanggil namanya, tapi nihil, Rue tetap nggak menjawab.
Gua pun mencoba peruntungan dengan membuka pintu kamarnya yang nyatanya nggak dikunci. Gua segera mengedarkan pandangan gua ke seluruh penjuru kamar Rue hingga menemukan sosoknya yang tengah duduk di pojok ruangan entah sedang apa.
Gua mendekati Rue, menepuk bahu cowok itu dan membuatnya menengok.
Ternyata si kambing itu pake airpods, pantes aja dipanggil nggak denger.
"Lepas," ujar gua sambil menunjuk telinga sendiri, Rue pun paham kode gua dan melepas satu airpods-nya.
"Apa?"
"Gua manggilin daritadi."
"Nggak denger. Kenapa?"
"Mau belanja. Nitip apa?"
"Ngapain? Delivery aja, bentar lagi juga kita mau balik ke Indonesia kan?"
Gua segera memukul kepala cowok itu hingga dia mengaduh, merenggut tak terima. "Di Indonesia aja belum dapet studio, udah main delivery-delivery aja lu."
"Sweets."
"As always," cibir gua, "and then .... what is that? Ria's photos?" tanya gua ketika melihat banyaknya tumpukan foto polaroid Ria di lantai.
Rue mengambil salah satu foto Ria disana, menatapnya cukup lama sebelum akhirnya membereskan tumpukan foto-foto tersebut dan memasukkannya ke dalam sebuah box berwarna soft pink dengan motif sepatu balet.
Galaunya bisa satu dekade nih anjir.
"Gua belanja yah," ujar gua lalu keluar dari kamar Rue dan segera keluar dari rumah sambil menaiki sepeda gua menuju ke supermarket terdekat.
Sepanjang perjalanan gua terus memikirkan Rue, yah bagus sih kalo dia udah sadar dia salah dan udah sadar kalo perasaan dia ke Ria emang bener adanya, tapi gua nggak paham letak alasan soal Rue yang tiba-tiba mau balik ke Indonesia. Katanya sih dia mau ninggalin Ria di Paris supaya cewek itu bisa lepas dari belenggu eksistensi Rue di sekitarnya dengan harapan Ria bisa melebarkan sayapnya untuk terbang lebih tinggi tanpa harus terluka atau bahkan berbalik turun karena eksistensi Rue.
Gua nggak tau siapa yang bodoh disini, Rue atau Ria, karena menurut gua mereka sama-sama bodoh. Berpikir untuk pergi sejauh mungkin supaya orang yang mereka cintai hidup bahagia tanpa eksistensi mereka. Gua yakin mereka berdua sama-sama tau bahwa eksistensi mereka berpotongan yang berakibat melukai satu sama lain, tapi mereka nggak tau bahwa eksistensi mereka berdua justru sama-sama berarti untuk satu sama lain layaknya oksigen. Dan gua rasa itu adalah toxic relationship yang sesungguhnya. Saling mencintai dan rela terluka bahkan saling menyakiti hanya untuk bersama.
KAMU SEDANG MEMBACA
MONOCHROME
FanfictionMonochrome terdiri dari dua kata, "mono" yang berarti satu, "chrome" yang berarti warna. Di dunia fotografi istilah ini mengarah pada film dengan warna hitam putih. Dan disini, ada kisah seorang pencari yang sedang berusaha mendapatkan kembali warna...