vingt trois

840 165 19
                                    

Major flashback

"Ria, nanti mau coba ketoprak yang di deket taman persimpangan jalan itu nggak?" tanya Tasya, teman seperbaletan Ria.

"Yang kemarin dibilang Michelle itu yah?"

"Iya. Katanya enak. Coba yuk! Mumpung tadi siang kita nggak sempet makan tadi, ini kan udah sore."

"Boleh deh yuk."

Ria segera merapihkan barang-barangnya dan memeluk lengan Tasya, berjalan bersama menuju ke taman di dekat persimpangan jalan yang tak begitu jauh dari yayasan balet mereka.

Mengobrol ringan sambil menertawakan kejadian lucu yang terjadi di yayasan balet adalah hal yang selalu dilakukan Ria dan Tasya setiap pulang dari yayasan balet. Selain rumah mereka yang satu arah, keduanya juga memiliki sifat yang mirip sehingga mudah untuk 'klik' satu sama lain.

Sampai di taman yang dikatakan Tasya tadi, keduanya segera memesan ketoprak yang menjadi tujuan mereka pergi kesana dan memakannya sambil mengomentari rasa saus kacangnya, ketupatnya yang lembut, bihunnya yang kenyal, dan untuk orang seperti Tasya yang suka pedas tentunya juga mengomentari rasa pedas ketoprak miliknya.

"Aku mau beli air minum dulu, kamu mau apa?"

"Air mineral," ujar Ria. "Aku jalan-jalan dulu gapapa yah?"

"Iya. Nanti angkat telpon aja."

Selepas kepergian Tasya, Ria berkeliling taman tersebut sendirian, menikmati angin sore dan semburat jingga yang menghiasi kanvas luas bernama langit tersebut.

Ria menyukai kesunyian dan kedamaian, kedua hal itu selalu membuatnya berpikir tenang dan memberinya waktu istirahat untuk dirinya sendiri.

Sibuk menikmati kanvas luas yang memayungi dirinya, Ria tanpa sengaja menabrak seseorang yang sedang memotret. Dengan sigap orang itu menarik Ria dan menahan bobot tubuh Ria agar tidak terjatuh. Sesaat sepasang mata mereka sama-sama mengunci satu sama lain, sebelum akhirnya kewarasan mereka kembali dan menarik diri mereka masing-masing.

"Maaf," ujar keduanya bersamaan dan saling menatap satu sama lain.

"Saya nggak sengaja."

Lagi.

"Eh anu...."

Lagi.

Dan kemudian hening.

"Duluan."

Lagi.
Hingga keduanya saling menertawakan satu sama lain karena terus bicara bersamaan.

"Maaf, saya nggak sengaja," ujar Ria pada akhirnya.

"Iya, saya juga. Maaf, tadi main tarik-tarik aja. Oh iya, nama saya Naruenatha," ujar pria itu sambil menyodorkan tangannya pada Ria. "Biasa dipanggil Rue."

Ria menyambut tangan Rue sambil tersenyum. "Memoria, boleh dipanggil Ria."

Memoria Yuki Kezie selalu cantik disetiap kesempatan. Senyumnya yang manis mampu menghiasi hari-hari orang lain dengan kebahagiaan, eye smile-nya yang cantik mampu meredakan gemuruh hari-hari orang lain dengan dirinya sebagai pemasok cahaya yang menerobos awan-awan gelap, dan tawanya yang merdu mampu membuat hari-hari orang lain lebih bermakna.

Memoria Yuki Kezie sesempurna itu.

Dan itulah yang menarik perhatian Naruenatha Edward pada dirinya. Sang pencari yang sudah menjalani banyaknya perjalanan dan kini tengah memulai perjalanan yang baru. Pada Memoria Yuki Kezie.

"Ria, ngapain?" ujar Tasya yang sudah kembali dengan plastik berisi minuman ditangannya. "Aku telponin nggak diangkat, gimana sih?"

"Oh sorry, ini aku lagi ngobrol."

MONOCHROMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang