vingt deux

827 173 50
                                    

Rue

Handphone gua nggak berhenti berbunyi selama beberapa hari ini. Ya, banyak yang protes soal permainan yang gua lakukan—honestly, beberapa hari ini gua terus sibuk chat sama cewek-cewek yang pernah masuk ke dalam permainan gila gua. Ngapain? Ya, jelasin ke mereka bahwa selama ini gua cuma sedang menjalani relasi dan cari banyak teman, bukan untuk hubungan, walaupun sebenernya itu alibi aja sih supaya gua nggak kelihatan jahat banget abis gantungin mereka kaya jemuran.

Beberapa diantara mereka ada yang marah karena sikap gua yang treat mereka layaknya seorang kekasih, ada juga yang langsung memaafkan dan bilang untuk berteman, ada juga yang cuma read aja.

Tapi ada satu orang yang nggak bisa gua kasih tau kebenarannya.

Ya, dia Bell.
Cewek paling berani yang siap sakit hati karena main api sama gua. Walaupun dia bilang siap, tapi gua malah nggak tega buat kasih tau. Chat cewek itu gua kacangin, dia juga kayanya nggak masalah banget, walaupun kadang dia juga suka kirim stiker orang marah.

"Ngapain sih ngeliatin handphone mulu? Nunggu ditelpon malaikat maut?" tanya Sergan sambil duduk di sofa dan menyalahkan televisi.

"Haram hukumnya orang ganteng mati muda."

Sergan mendecih. "Haram juga hukumnya bajingan dibiarin hidup lama."

Beneran nggak bisa menang gua kalo Sergan kaya gini. Heran, kenapa dia nggak jadi jaksa atau pengacara aja sih? Pasti ditakutin tuh sama orang-orang.

"Gua bingung," ujar gua.

"Apa? Milih foto Ria yang mana yang bisa dijadiin wallpaper?"

"Sergan, bisa serius nggak sih?!"

Sergan lalu menatap gua dan melakukan hal menjijikkan. Melakukan pose sok imut dengan berpura-pura menyelipkan rambutnya ke belakang telinga, padahal rambutnya panjang kaya iklan shampoo aja nggak.

"Aku Sergana bukan Sergan."

"Mati aja lu anjing!!" ujar gua sebal sambil melempar bantal sofa ke muka Sergan, sayangnya ditepis sama cowok itu, jadi nggak kena mukanya.

"Maaf, gua Sergan bukan Anjing."

"Seriusssss!!"

"Ya, bingung kenapa lagi sih, nyet?!!" balas Sergan emosi.

Bentar, bentar. Ini bukannya harusnya gua yang emosi?!!

"...Bell," ujar gua dan respon Sergan hanya diam lalu memutar pandangannya lagi pada layar televisi.

Untuk sesaat hanya keheningan yang mengisi jarak antara gua dan Sergan. Dia nggak ngomong apa-apa dan gua juga masih melihat layar handphone gua.

"Lu tau?" ujar Sergan membuka suara, "kalo apa yang lu mulai harus lu akhiri, entah dengan ending yang baik atau nggak."

"Gua nggak pernah takut untuk nyakitin siapapun sebelumnya," ujar gua sambil berdiri, "tapi sekarang gua takut."

"Where are you going?"

"I wanna hangover. Pick up me if Vernon call you later," ujar gua kemudian keluar dari rumah dan segera menuju ke Le Pirates dengan Rose dan pikiran yang terus berkecamuk.

Angin malam ini terasa lebih dingin dari biasanya dan pikiran berkecamuk itu membuat gua merasa perjalanan menuju ke Le Pirates begitu lama. Disitu gua baru merasakan bagaimana kesepiannya gua selama ini, sekosong apa hati gua selama ini, dan kenapa .... gua baru sadar bahwa semua itu terasa setelah kepergian Ria?

Handphone berdering secara tiba-tiba, membuat gua tersentak kaget. Segera gua ambil handphone gua dan setelahnya gua mengernyit melihat siapa penelpon tersebut.




MONOCHROMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang