vingt quartre

818 152 8
                                    

Ziel

Alunan piano mengisi seluruh ruang latihan balet ini sekarang, suara derap kaki yang selaras seakan menjadi backsound dari lantunan melodi piano yang gua mainkan.

Hari demi hari, latihan pertunjukkan Giselle menjadi lebih intensif, bahkan sampai sering lembur. Bisa dibilang pertunjukkan kali ini bagaikan hidup dan mati yayasan Fantasia karena bukan hanya penonton biasa saja yang akan datang, melainkan para investor ternama, kritikus pertunjukkan balet, dan orang-orang penting di dunia perbaletan dan juga demi kelangsungan kejayaan yayasan Fantasia.

Misi yang besar membuat mereka harus berlatih ekstra dengan perjuangan yang nggak mudah. Jujur, setiap hari selalu ada bisikan setan yang terdengar di telinga gua untuk menyerah pada mereka yang sangat-sangat mengecewakan gua, tapi poros pertunjukkan kali ini, bintang paling bersinar yang dengan suka rela membagi cahaya miliknya pada bintang redup lainnya, Memoria Yuki Kezie, cewek itu selalu berhasil menyingkirkan bisikan setan tersebut.

Hingga akhirnya sebuah hasil yang luar biasa berhasil gua dapatkan, dimana semakin hari semuanya semakin membaik, mereka mulai menyatu dengan musik, perasaan mereka seakan mengerti satu sama lain. Tapi yang lebih penting lagi adalah poros pertunjukkan. Memoria, cewek itu selalu berhasil membuat gua terpukau dengan semua gerakan tubuhnya, perasaannya yang dia tumpahkan pada setiap gerakannya, dia nggak pernah mengecewakan. Nggak pernah sekalipun.

"Oke! Istirahat 10 menit!" ujar L'oncle Albert ketika mereka semua sudah menyelesaikan semua babak pertunjukkan.

Gua berdiri lalu melakukan sedikit peregangan pada tubuh gua, khususnya pada jari dan mata gua. Gua mengedarkan pandangan gua ke seluruh ruangan bermaksud untuk merelaksasikan mata hingga kedua mata gua malah terhenti pada sosok yang selama ini membuat gua terpukau. Lurus dan begitu dalam, seperti itu gua menatapnya.

Tapi bukan hanya gua yang sering menatapnya seperti itu, ada sosok lain juga yang menatapnya demikian, hanya saja tatapannya itu diliputi kesedihan yang entah karena apa. Dia si fotografer itu, Naruenatha. Hari ini cowok itu nggak dateng, ya lagian dia dateng juga nggak ada ngaruhnya, tapi gua agak penasaran aja soal sorot matanya itu.

Kenapa harus menatap Ria begitu? Dan kenapa juga Ria hanya menyiratkan sesuatu dari pandangannya ketika menatap Naruenatha? Mereka ada apa?

Gua selalu memutar otak gua dua kali lebih keras ketika memikirkan kedua orang itu, tapi nggak pernah ketemu. Apalagi semenjak kedatangan anak konglomerat de Humbleton itu, semuanya malah makin rumit.

"Naksir yah?" bisik L'oncle Albert sambil menyenggol gua.

"Tck! Apaan sih?" dengus gua kesal.

"L'oncle tau loh kamu sering liatin Ria."

"Ya kan punya mata."

"Tapi liatnya Ria doang?"

"Ya keliatannya dia doang."

"Wahhh, keponakan L'oncle udah besar yah, tau cinta-cintaan."

"Emangnya aku anak SD nggak tau begituan?"

L'oncle Albert lalu merangkul gua. "Kalo naksir, deketin dong."

"Udah ada yang punya."

"Oh?" L'oncle Albert tampak bingung tapi kemudian mengangguk-angguk. "Ya, kalo dipikir-pikir, bocah kaya raya yang deket sama Ria itu memang bisa memenuhi kebutuhan Ria sih."

"Terus maksudnya aku miskin?" sarka gua. "Malam ini, angkut semua barang L'oncle dari rumahku."

"Hehh? Kok gitu?"

MONOCHROMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang