Ria
Aku tertawa mendengarkan guyonan Yvonne dan Nina mengenai kejadian tempo hari yang mereka lalui saat mereka tengah berbelanja sepatu pointe baru. Sebenarnya kejadian yang mereka ceritakan tidak selucu itu sampai-sampai perutku sakit, tapi cara bercerita mereka benar-benar lucu, apalagi ekspresi yang Yvonne gunakan saat seorang pegawai toko mengira Yvonne patah tulang karena terus menunduk. Ya, Yvonne terpeleset karena lantai toko yang licin, sehingga menyebabkan sebuah rak berisi banyak sepatu pointe jatuh, sementara Nina hampir saja tertimpa rak tersebut yang untungnya berhasil menyingkir. Dan sebenarnya Yvonne bukan menahan sakit karena terus menunduk, dia menahan malu dan tidak sanggup menatap orang-orang.
"Terus? Gimana kalian bisa keluar toko?" tanyaku.
"Yvonne langsung berdiri dan menarikku keluar. Parah, malu banget!" ujar Nina.
"Udah gitu yah—Ah, bonjour, Monsieur Edward," sapa Yvonne.
Sekujur tubuhku seketika membeku saat mendengar salah satu bagian dari nama Rue disebut. Aku menatap Rue, begitu juga dirinya, tapi anehnya hatiku perih saat melihat Rue tersenyum dengan begitu lembutnya.
Kenapa?
"Bonjour," sapa Rue, "sedang istirahat?"
"Iya, Monsieur. Eh tapi kok Monsieur tumben datengnya telat banget? Biasanya pagi," tanya Nina.
"Ah iya," sahut Rue, "hari ini kan hari terakhir saya disini."
Aku membelalak dan menatap Rue. Apa maksudnya? Hari terakhir?
"Loh kok gitu? Kan kami tampilnya masih dua minggu lagi, Monsieur?" rajuk Sarah yang segera bergelayut manja dilengan Rue.
Rue tersenyum. "Maaf yah, tapi pekerjaan saya ternyata selesai lebih cepat. Jadi, saya nggak akan rekam kalian lagi, semua bahannya udah lengkap."
"Tapi Monsieur bakalan nonton kita kan?" tanya Eddith.
"Iya."
"Dikursi paling depan yah?"
"Iya, iya."
Baru saja aku hendak bertanya, berusaha menyuarakan suaraku, tepukan tangan dari Monsieur Albert menyatakan bahwa istirahat sudah selesai dan kami harus kembali berlatih.
Mataku tak lepas dari Rue saat berlatih dan berkali-kali juga tertangkap basah oleh dirinya yang dibalas dengan senyuman. Apa-apaan itu? Kenapa dia tersenyum?
Tidak. Bukan itu yang kupertanyakan. Bukan alasan kenapa Rue tersenyum, tapi,
kenapa .... kenapa aku tak rela dia pergi?"Memoria! Langkahmu kacau!" ujar Ziel membuatku tersadar dan segera memerbaiki langkahku.
Tapi mau seberusaha apapun aku untuk fokus, aku tetap tak bisa. Rue masih begitu mengangguku, sangat. Hingga akhirnya mata kami bertemu dan Rue menggerakkan bibirnya; fokus, kita bisa bicara nanti.
Aku benci mengakuinya, tapi Rue masih sama seperti dulu. Dia masih memahami diriku, dia masih mengingat kebiasaan-kebiasaan kecil yang sering kami lakukan untuk saling menyuarakan isi pikiran kami tanpa banyak bicara. Rue masih sama.
Tapi kenapa dia masih sama setelah semua ini terjadi?
💞
"Aku mau balik ke Indonesia."
Selesai latihan, aku membersihkan diriku dan berniat pulang, tapi Rue mengajakku bicara seakan itu begitu penting. Dan tibalah kami disini, di taman dekat yayasan Fantasia, tempat dimana kami membicarakan tentang 'kami' yang pada akhirnya tidak menunjukkan titik terang sama sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
MONOCHROME
FanfictionMonochrome terdiri dari dua kata, "mono" yang berarti satu, "chrome" yang berarti warna. Di dunia fotografi istilah ini mengarah pada film dengan warna hitam putih. Dan disini, ada kisah seorang pencari yang sedang berusaha mendapatkan kembali warna...