douze

991 186 15
                                    

Ria

"...Ya..."

"Ria."

"Eh iya?" aku tersentak ketika bahuku ditepuk oleh Edith. "Kenapa, Eddy?"

"Handphonemu bunyi terus, tapi kamu malah bengong. Ada telpon kayanya."

"Oh iya. Merci, Eddy."

Aku segera menuju tasku yang sengaja kuletallan di pojok ruang latihan (aku mengambil latihan ekstra sendirian hari ini, jadi tasnya kubawa ke ruang latihan) dan mengambil handphoneku. Kutekan tombol hijau dilayarku dan mendekatkan handphoneku ke telinga. "Hai."

"Aku balik yah Ria, jangan pulang malam-malam," ujar Eddith dan melambaikan tangannya padaku.

Kubalas lambaian tangannya. "Hati-hati. Eddy."

"Hai, masih latihan?"

"Iya, aku ambil latihan ekstra sendiri hari ini."

"Jangan maksain diri, istirahat kalo capek. But your voice hear not fine, are you sick?"

"No, I'm fine."

"Ria, you're a bad liar."

Aku terkekeh. "Aku gapapa. Cuma .... capek."

"Kalo capek istirahat dan kasih tau aku kalo ada yang jahat ke kamu. Oh shit, you make me worry! Aku pulang kesana lusa yah?"

"E-Eh, jangan! Kamu kan masih ada kerjaan," cegahku. "Aku gapapa, Astin, cuma capek aja. Komposer musik yang baru nggak begitu bersahabat, jadi agak capek secara mental aja."

"Nggak ada hal lainnya?"

"...Nggak kok. Ini udah dua minggu kamu pergi, jadi gimana di Jepang? Lancar?" tanyaku mengalihkan topik pembicaraan.

"Bisa dibilang lancar, walaupun repot juga ternyata yang punya perusahaan anaknya perempuan. Berkali-kali nolak, berkali-kali ditanyain terus."

"Dijodoh-jodohin lagi?"

"Menurutmu?"

"Hahaha, kamu populer."

"Ya, dan aku cukup bangga. Ngomong-ngomong kasih tau aku kalo ada yang ganggu pikiranmu. Aku sedia 24 jam."

"Aku gapapa, serius," ujarku sambil terkekeh, memberi kesan pada Justin bahwa aku terlihat baik-baik saja.

Mungkin tinggal terlalu lama dengan Justin membuat pria itu paham betul mengenai diriku. Justin selalu tau bahwa aku tidak bisa berbohong mengenai apapun padanya, dia selalu tau dan selalu ada ketika aku tak pernah meminta.

"Jangan memberiku terlalu banyak, Astin," ujarku.

Justin mengingatkanku pada diriku yang dulu. Yang dulu memberi segalanya untuk seseorang. Waktu, kenangan, dan .... cinta. Seseorang yang bahkan menerima itu semua dengan lapang dada dan pergi setelah merasa cukup untuk singgah lalu melanjutlan perjalanan. Meninggalkan rumahku setelah mengucapkan perpisahaan dan menyisahkan ketidakjelasan akan hati yang mengembara mencari pemiliknya.

Tapi alih-alih menjadi pemberi, Justin justru lebih seperti penjaga. Dia menjagaku disaat terapuhku dan menjadi sosok yang selalu ada untukku bersandar.

"Aku hanya menjadi orang pertama yang harus tau keadaanmu, Ria."

Justin selalu menolak ucapan terima kasihku, tapi selalu menerima apapun bentuk perhatian yang kuberikan padanya karena dia selalu mengaku kekurangan perhatian sejak kecil.

MONOCHROMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang