Bab_ 11🅰

38 13 4
                                        

"Kamu kehilangan Andre?"

"I_iyya, Mas. Sejak pagi Andre sudah tidak ada."

Pria yang memegang telpon genggam itu menarik napasnya panjang, lalu dihembuskannya kasar.

"Kenapa?" tanyanya penuh penekanan.

Andre yang kala itu terbaring di sofa panjang menggeliat. Sedang papanya masih fokus pada gatget ditelinganya, menghadap jendela kaca yang menampakkan lalu-lalang kota yang semakin hari semakin bertambah.

"Semalam Andre memecahkan gelas kaca," suara disebrangnya lirih.

"Terus, hanya gelas pecah Andre sampai lari kesini dan minta tinggal bersamaku?" Nadanya mulai naik seoktaf.

"Hari ini penerimaan Raport Andre, Mas."

"Aku nggak bahas Raport, tapi bahas kenapa Andre sampai kemari dan minta tinggal denganku?"

Sayup-sayup suara terdengar ditelinga Andre, mendengar namanya disebut sang papa, ia bangun.

"Kemungkinan Andre dengar perdebatanku dengan Mas Iyas siapa yang akan mengambilkan Raport Andre, dan kami sama-sama tidak bisa hari ini, jadwalku padat dan Mas Iyas harus menangani kasus."

"Hanya itu?" Ali--Papa Andre, memutar kepalanya sekilas untuk melihat anak laki-lakinya yang sedang tidur pulas. Sedang Andre yang saat itu sudah terbangun segera memejamkan matanya kembali, membiarkan presepsi papanya bahwa dia benar-benar teritidur pulas.

Sebegitu pedulikah, Papa? Batin Andre. Ia sengaja tidak bangun agar mendengar kelanjutan perbincangan papanya yang entah Andre tidak tahu siapa, tapi Andre yakin itu Mamanya. Andre ingin tahu sebagaimana marahnya papa pada mamanya.

Entah apa jawaban si lawan bicara yang kemusian membuat papanya berbicara lagi.

"Kamu nggak bisa jaga Andre? Aku cuma minta jagain sampai Andre SMA. Kamu tahu Andre keras kepala, kalau maunya tinggal denganku tidak bisa dirubah."

"Hal sepele seperti itu bisa bikin Andre kabur? Aku nggak mungkin bawa Andre kerumah, aku nggak siap jelasin ini ke putriku."

Deg.

Tess ...

Untuk pertama kalinya Andre menangis. Setelah mamanya yang tidak mengharapkannya, sekarang papanya. Kalau sudah begini, Andre akan kembali menyalakan hidupnya, mengapa Tuhan menciptakannya.

"Bagaimanapun caranya, kamu harus bujuk Andre untuk pulang, kalau tidak biar saja dia tinggal dirumah ibumu."

Telfon dimatikan sepihak. Andre menggeliat, mengubah posisi tangannya yang terlipat diperut berpindah ke atas matanya. Ya, semata-mata hanya untuk menutupi matanya yang basah.

Andre teringat perkataan guru ngajinya. 'Tuhan itu ada tapi tak terlihat, tapi Tuhan selalu melihat semuanya bahkan yang tidak terlihat oleh manusia, Tuhan itu Maha Kuasa, ia selalu ada untuk membantu.'

Dimana Tuhan yang katanya Penolong? Batin kecil Andre kala itu. Ia solat, ia ngaji, ia beribadah sesuai perintah Tuhannya, tapi kenapa Tuhannaya tidak membantunya, justru menambah lukanya.

Sejak saat itu, perkataan gurunya tak lagi Andre ingat dan benarkan, karena buktinya Tuhan tak datang menolongnya. Tuhan tak peduli padanya, atau mungkin ia diciptakan memang hanya menjadi benalu saja, atau menjadi lumut  yang tak diharapkan dan diabaikan keberadaannya?

Usai menutup telpon, papanya kelur lagi. Andre terduduk dan mengeringkan air matanya. 'Anak laki-laki harus kuat', itu yang selalu ia dengar setiap hari kala berangkat sekolah dan melihat tetangganya diantar ibunya sampai pintu pagarnya.

Ya, kata-kata itu bukan dari mamanya, tapi dari ibu tetangganya yang umurnya terpaut 3 tahun dibawahnya.

Andre yang saat itu salah mengambil keputusan, akhirnya keluar lagi dari bangunan bertingkat itu, bangunan yang katanya kelak akan diwariskan padanya.

Sayangnya, sakit yang ada didadanya lebih banyak dosisnya dari pada keinginan memiliki perusahaan ini. Perusahaan yang dipimpin papanya, papa yang tidak mengharapkannya. Sakit. Dada Andre sakit, tergores untuk kedua kalinya.

Akhirnya Andre memilih berjalan tanpa tujuan, tidak tahu kemana lagi ia harus pergi. Pergi pada Tuhannya? Ia yakin Tuhan tak akan mendengarkannya. Nenek kakek dari mamanya tidak di surabaya, sedang kakek nenek dari papanya meninggal saat Andre berusia 2 tahun, saat itu pula papa dan mamanya memilih berpisah. Andre tidak tahu penyebabnya, bahkan sampai sekarang tidak ada yang memberi tahu permasalahan pokoknya. Yang Andre tahu, meski papa dan mamanya berpisah, mereka masih akur, bahkan papanya rajin menengoknya setiap minggu, melihat perkembangannya.

Sayangnya, kasih sayang yang Andre kira tulus setiap papanya datang menjenguknya kini tak ada, Andre tahu itu hanya delusi semata. Andre benci, sangat.

Andre tidak mau menginjakkan kaki lagi di bangunan besar itu, sampai kapanpun. Bahkan sampai keputusan perusahaan itu akan beralih padanya, ia tidak akan mau. Andre telah berjanji pada dirinya sendiri, tidak mau sedikitpun menyentuh perusahaan itu lagi, apalagi kalau sampai menjadi pewarisnya. Tidak, Andre tidak mau.

3 hari Andre lewati tanpa makan, badan lemas, dan badannya demam. Mama dan papanya sudah mencari kemana-mana, bahkan sampai lapor polisi. Baru di hari ke-4 Andre ditemukan polisi yang sedang berpatroli. Andre dipulangkan.

Sampai dirumah, Andre tak mau berbicara, Andre tak mau masuk ke kamarnya, yang ia ingini adalah tinggal jauh dari mamanya.

"Andre, kamu kenapa? Mama salah apa? Kalau cuma gelas pecah itu, mama nggak akan marahin Andre. Andre kabur ke papa, terus papa bilang Andre kabur lagi. Kenapa?" tanya mamanya lembut sambil mensejajarkan tatapannya dengan Andre yang kala itu tingginya baru 122.

"Andre nggak mau tinggal sama mama," jawabnya ketus dan menghempaskan tangan mamanya yang sedari tadi memegang kedua tangan Andre.

"Kenapa?"

"Kenapa Andre dilahirin kalau mama nggak mau Andre? Bunuh Andre, Ma."

Pecah, air mata mamanya tumpah. Sekarang ia mengerti atas kepergian Andre yang diam-diam.

Andre memang belum dewasa, tapi bukan berarti dia tidak mengerti kalimat orang-orang dewasa, dia anak yang cerdas.

"Andre, bukan itu maksud mama."

"Stop, Ma. Andre nggak mau tinggal sama mama."

"Terua kamu mau tinggal di mana?"

Andrenata Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang