Bab_ 7🅰

50 12 0
                                    

Setelah tragedi sakit bathin dan raganya, akhirnya Andre kembali masuk kuliah, ia harus tetap menjalani hidup dan meraih yang namanya bahagia.

Ya, seseorang pernah bilang kepadanya, bahwa dirinya berhak bahagia bagaimanapun caranya.

Maka, yang berlalu Andre biarkan berlalu, walau nyatanya masih ada sekelebat ingatan, kekecewaan, dan sakit ia abaikan. Karena begitulah caranya agar bahagianya tak terganggu, bahagia yang bagianya harus diraih, bahagia yang mampu membawa hidupnya lebih baik.

"Woy, And. Ngelamun mulu lo," sapa Alan teman sekelasnya yang pernah di comot bolpennya tiba-tiba.

"Apa sih, lo? Orang lagi mikirin Alice juga, ganggu," sarkas Andre.

Mereka sebenarnya bertiga 'Andre, Ammar, dan Alan', duduk dikantin kampus yang tepat berada disamping jalan, dan danau buatan menjadi pemandangan pertama mereka di seberang jalannya, tapi yang ada di meja hanya mereka berdua, Ammar sedang memesan apa yang akan dimakan dirinya dan kedua temannya.

"Alice lo, dipikirin. Cewek noh jangan di pikirin, nggak akan dapet. Kejar sono, noh, si Alice." Alan mengangkat kedua alisnya dan kedua bola matanya menunjukkan keberadaan Alice.

Andre mengikuti arah pandang dimana netra Alan dijatuhkan. Tepat dibalik punggungnya, terpisah satu meja tampak Alice sedang bercengkerama dengan temannya. Entah siapa, temannya memunggungi Andre dan tak terlihat sedikitpun celah untuk mencari tahu identitasnya. Setelahnya Andre kembali menghadap Alan yang telah fokus dengan gatgetnya.

Tak lama kemudian Ammar datang membawa makanan mereka. Gatget yang dimainkan Alan diletakkan seketika dan mengambil makanan yang sudah dipesannya dengan cepat.

"Kenapa nggak lo samperin, Ndre?"

Sejujurnya, perihal memikirkan Alice adalah sebuah kamuflase untuk merahasiakan apa yang dipikirkan Andre sebenarnya.

"Lo aja sana."

"Kenapa sih, kalian? Ada apa? Siapa yang mau di samperin?" tanya Ammar beruntut karena perbincangan kedua temannya tidak ia pahami. Wajar saja, ia baru bergabung di meja setelah menyelesaikan prosesi pesan memesan.

"Noh." Alan kembali menunjuk keberadaan Alice dengan netranya, sedang mulutnya sudah dipenuhi lontong.

"Ooohh. Kamu suka beneran, And?" tanya Ammar sambil menyendok makanannya.

Yang ditanya hanya menatap Ammar datar, lalu pandangannya beralih pada Alan yang fokus dengan makanannya. Andre menggeleng dan mencoba mengalihkan pembahasan kala itu dengan berhenti bicara dan fokus pada soto pesanannya.

Ya, Ammar memesan nasi rames, Andre soto, dan Alan bakso. Berbagai macam menu ada dikantin itu, tapi tidak satu etalase. Ada banyak etalase yang menyediakan menu berbeda, berjejer rapi dengan pemilik yang berbeda pula. Tapi, tetap saja pembayarannya distukan di satu kasir tepat dipintu keluar. Mereka yang sudah mengambil menu makanan hanya perlu menyetorkan kertas yang sudah dituliskan pelayan atau pemilik ruko.

Usai makan, tepat adzan Dzuhur berkumandang. Mereka membayar makanan mereka masing-masing di satu kasir.

"Solat yuk, " ajak Ammar pada kedua temannya. Terlebih, kalau ada Alan mungkin Andre akan enggan menolak ketika diajak solat, dan dari sini Ammar mengambil kesempatan.

"Iyya, yuk! Se-jam lagi kita harus masuk kelas," jawab Alan menyetujui. Sedang Andre, lidahnya kelu untuk bilang iyya atau tidak, bahkan kakinya rasanya berat untuk dilangkahkan.

Melihat Andre yang tanpa respon, Ammar khawatir cara ini tidak berhasil untuk membujuk Andre, karena sebelum-sebelumnya Ammar sudah pernah bahkan sering meengajak Andre solat, tapi selalu mendapat penolakan.

Sedang Alan yang melihat Andre  masih mematung, langsung menarik lengan Andre, lalu ketiganya berjalan dengan Ammar yang santai tapi menyimpan khawatir, dan Alan yang masih bergandengan dengan Andre untuk menarik anak itu.

Ketiganya berjalan mengitari danau dan berhenti dipojok barat sebelah selatan. Tepat disana terletak musholla Universitas dengan pemandangan utamanya tetap danau buatan. Lalu dikiri Musholla lebih ke selatan adalah fakultas mereka.

Lagi-lagi yang bisa dilakukan Andre adalah mengikuti gerakan dan apapun yang dilakukan keduanya.

Usai solat, tiga sekawan itu memasang sepatu diteras musholla, tak lupa sambil melirik akhwat yang mungkin juga sedang solat disana.

Alan selesai lebih dulu. "Cewek, Ndre. Bening uyy ... shuwi ... wiiit." Alan bersiul sambil menunjukkan cewek yang dilihatnya pada Andre dengan netranya.

"Mana, mana?" Andre celingukan, padahal ikat sepatunya belum usai.

Ammar yang melihat kelakuan dua sekawannya itu hanya bisa geleng-geleng.

"Jatah gue tuh!" kelakar Andre sambil mempercepat gerakannya mengikat sepatu.

"Yang mana jatah, lo? Berkerudung pink?" Andre mengangguk cepat.

Ammar tidak ikutan dalam hal ini, bukan kebiasaannya, ia lebih memilih pamit untuk ke kelas terlebih dahulu. Tapi, jika ditanya terima nggaknya, jelas Ammar tidak terima. Dia punya prinsip, cita-cita, dan impian di masa depan.

"Hai," sapa Alan mendahului. Andre tak terima.

"Maaf, mbak. Punya jarum nggak?"

Alan bingung akan tujuan Andre, tapi ia tetap ikut bagaiamana skenario selanjutnya.

"Oh, ada, Mas."

"Boleh pinjem?" tanya Andre dengan penuh ekspresi serius. Sedang Alan tetap diam menikmati drama apa yang dimainkan temannya.

"Boleh." Gadis berhijab pink, dengan tinggi tidak seberapa berusaha mencari sesuatu dalam tasnya. "Ini."

"Sekalian, Mbak, minta tolong tusukin kulit saya yang mana aja."

Jalas gadis itu bingung dengan maksud dan tujuan Andre.

"Maaf, Mas. Buat apa ya? Dan kenapa mau ditusuk?"

"Soalnya saya mau buktiin benar tidaknya, Mbak. kalau didepan saya ini bidadari nyata atau hanya mimpi saya?"

Raut wajah gadis itu berubah merah tomat dan masam, tidak lagi damai. Jarum yang dipeganya langsung dilemparkan ke hadapan Andre. Lalu,

PLAK.

Andrenata Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang