Gubrak
Jangan tanya itu suara apa. Meja yang dikelilingi sofa didalam apartemen Andre sudah tak ditempatnya. Pemiliknya berpindah ke jendela kamarnya yang menampilkan hiruk pikuk kota Surabaya, hijau tapi tak sehijau pegunungan, tembok-tembok tersusun menjulang seolah terlambai di kaki langit.
Netranya menatap semua pemandangan itu, tapi tidak menikmati, tatapannya kosong, bahkan sampai langit menggelap, ia tak ingin beranjak dari teralis jendela kamarnya, tak peduli seberapa lama kakinya menopang tubuhnya, yang ia tahu dirinya hanya puing-puing yang tak di inginkan, sakit.
Sesak didadanya kembali menghantam, ia bukan perempuan yang akan meneteskan air mata saat perih didadanya mendera, ia laki-laki yang akan melampiaskan sakitnya bagaimanapun caranya.
Tapi, untuk saat ini dia ingin sendiri, biar saja kakinya pegal, bahkan sampai patah sekalipun, ia tidak perduli. Biar saja netranya menatap langit gelap hingga menjadi pekat, sepekat hatinya.
Ia benci, benci keadaan yang membuat dirinya tak bisa berbuat apa-apa, ia benci Tuhannya yang seolah mendukungnya. Perduli apa Tuhan pada dirinya? Bintang-bintang bertaburan seolah menertawakannya. Bukankah ini tak adil baginya?Tuhan menciptankan bintang untuk menemani langit agar tanpak indah. Tapi, kenapa Tuhan ciptakan dirinya kalau akhirnya tak ada bahagia.
Drrtt..
Drrtt..Benda pipih dikantongnya bergetar, memintanya untuk di acuhkan, tapi sang empunya tak acuh.
Drrtt ...
Drrtt ...Bahkan hingga berkali-kali terjeda dan kembali bergetar, sang pemilik tak ingin peduli, biar saja gatget itu tahu apa yang dirasa.
Sayangnya benda pipih itu tak kunjung menyerah, sampai akhirnya sang pemiliklah yang menyerah, berhenti menatap bintang-bintang yang mengejeknya, terulur tangannya mencari benda yang sejak tadi tak mau diam di sakunya.
Nomor tidak dikenal
Nafas terhembus berat dari rongga hidungnya, mengusap mukanya gusar. Siapa yang berani mengganggunya?
Digesernya panel berwarna hijau dengan malas, mengangkat benda itu agar tertempel ditelinganga, lalu kaki-kaki panjangnya membawa tubuhnya melangkah mendekati sofa yang tak terlihat lagi bentuknya.
"Halo ... Andre, ini ak--"
Segera Andre matikan panggilan itu sepihak, membangunkan urat-urat dijemari tangannya, menggenggam erat handphonenya lalu dilemparnya entah kemana.
Suara ini? Andre kenal, sangat kenal, sangat hafal, sangat dirindunya, tapi juga sangat dibencinya.
Suara gadis itu masih terngiang dikepala Andre, lembut. Berapa banyak stok kebencian yang ia punya? Ia selalu membenci, benci semuanya.
Kedua tangannya mengeras, menarik rambutnya kuat, memukul-mukul kepalanya hebat. Ingin suara yang terngiang itu hilang, menjauh, dan tak akan pernah lagi ia dengar, ia terlanjur membenci. Kebenciannya mengalahkan rindunya.
Terakhir ia pukulkan kepalanya di tembok, berharap amnesia tentang ingatan-ingatan persetan baginya.
"Lo bakal disini kan? Sama gue."
Gadis berwajah bulat, rambut sebahu yang hitam pekat dan lebat, terayun kesana-kemari saat gadis itu mengangguk. Iris mata coklat legamnya menatap Andre tulus. Tidak ada kehawatiran yang Andre lihat dimatanya, ditambah gadis itu tersenyum manis dihadapannya.
"Lo bakalan kuliah bareng gua kan, Kal? Kita ambil jurusan yang sama."
Gadis yang dipanggilnya Kal tersenyum, menampakkan bibir tipisnya tersisa segaris. Kembali rambut lebatnya terayun kesana kemari mengikuti gerakan kepalanya yang menggeleng.

KAMU SEDANG MEMBACA
Andrenata
Spiritualitéini bukan kisah bad boy yang kemudian ketemu gadis pujaannya lalu merubahnya menjadi baik. tapi, ini kisah serang anak yang tak diinginkan orang tuanya, ia dilahirkan karena sebuah keterpaksaan, tanpa cinta, pun tanpa kasih sayang. ia dilahirkan han...