Bab_ 6🅰

63 15 6
                                    

Semalam, Ammar tidur di Apartemen Andre, tak ada yang menawarkannya seperti yang di lakukan Andre beberapa hari lalu, ini kemauannya, karena dirasa Andre butuh ditemani saat melihat keadaannya yang seperti ini.

Pagi sekali, Ammar hendak kembali ke kostan dengan dalih berganti pakaian. Hari rabu tidak ada jadwal kelas, ia akan kembali kuliah kamis sampai sabtu.

"Lo bakalan balik lagi kan, kesini?"

"Kenapa? Mau nitip sesuatu? Atau mau dibelikan bubur ayam lagi?"

Ya, dari kemaren hingga semalam, Ammar yang merawat Andre, membelikan obat di Apotik, membelikan bubur untuk makannya, menyiapkan segala keperluan Andre, hingga membuat laki-laki yang terbujur di tempat tidurnya ter-enyuh.

Baru kali ini Andre menemukan teman laki-laki yang seperhatian itu, merawatnya seperti saudaranya, padahal ia seseorang yang baru dikenalinya, seseorang yang tidak tahu asal usulnya, yang dia tahu Ammar hanyalah teman kampusnya, teman seangkatnya, dan ... jangan lupa ia teman laki-laki pertama yang berteman tulus. Sebelumnya Andre banyak teman, tapi tidak sedekat ini, teman-teman yang ia miliki datang karena uang.

"Males, ah. Bubur ayam mulu. Gue pengen rasain makanan yang biasa lo makan."

Ammar tidak bisa berpikir jernih. Kenapa? Kenapa tiba-tiba? Untuk apa? Arghh ... daripada membuang waktu, lebih baik Ammar iyyakan saja. Tapi, bagaimana kalau Andre tidak suka? Bagaimana kalau makanannya tidak enak? Andre biasa makan yang kulitas dan harganya diatas rata-rata, kan.

"Ngomong-ngomong lo tiap hari solat?"

"Iyyalah, And. Kan, kewajiban!"

"Kalau solat yang lo lakuin pas tengah malem ... juga kewajiban?"

Ammar menggeleng. "Itu sunnah, tapi Rasullah tidak pernah meninggalkannya."

Andre mengangguk-anggukan kepalanya seolah paham. Padahal, ia ingin bertanya apa hubungannya dengan Rasul yang tidak pernah meninggalkannya dengan solat yang Ammar lakukan. Tapi, biar saja, ia akan menanyakannya dilain waktu jika ingat. Untuk sekarang, ia malu menanyakannya, terlebih karena dirinya tak pernah solat. Untuk apa ia solat jika Tuhannya mengabaikannya, membiarkan dirinya terpuruk, membuat buruk nasibnya, pikir Andre.

Ammar berlalu, ingatan Andre kembali kemasa lima tahun yang lalu dimana semuanya berubah seketika. Saat itu, Andre berusia 14 belas tahun, duduk dikelas dua Sekolah Menengah Pertama.

Tepat dihari jumat, malam hari, pukul 23.15 WIB, dirumah bernuansa modern dua susun, terdengar pembicaran dua orang berumur lebih dari seper-empat abad.

"Mas, besok penerimaan raport Andre, tapi aku dipercayakan untuk mewakili survey tempat. Mas bisa wakilin?"

"Kenapa kamu nggak minta Ali saja? Andre kan juga tanggung jawab Ali, jangan semuanya dibebanin ke kamu. Aku besok ada penyelidikan kasus, berat."

Saat itu Andre yang terbangun dari tidurnya karena haus dan persediaan air dikamarnya kosong, terpaksa ia harus mengambilnya didapur. Saat tiba di tangga terakhir ia mendengar kedua orang tuanya berbicara yang membuatnya menghentikan langkahnya dan diam berdiri tepat disisi kiri ambang pinti yang tak jauh dari tangga. Pasalnya ia ingin mendengar keputusan akhirnya seperti apa.

"Mas Ali nggak bisa diminta dadakan seperti ini, urusan kantornya sudah terjadwal beberapa waktu sebelumnya."

"Aku heran kenapa kamu masih mau merawat anak itu, padahal anak itu lahir bukan keinginan kamu."

Cttarrrllng ...

Deg.

Gelas berukuran besar yang ingin Andre isi ulang dan tidak terpegang dengan erat akhirnya jatuh, membuat dua orang yang berada didalam kamar keluar dan melihat Andre yang berdiri mematung masih dengan ke kagetannya.

Ketika Andre sadar akan dua orang didepannya, ia berbalik dan menaiki tangga, tidak perduli seberapa hausnya ia, apa yang telah didengarnya lebih menyiksa dari sekedar haus.

Setelah sampai dikamarnya, sosok Andre yang penurut mengambil keputusan besar. Ia tidak menangis, tapi jauh di dalam dadanya ada perih. Ia memang anak yang hendak menginjak remaja, tapi justru masa-masa itulah hati dan pikiran anak rentan, sensitif.

Sejak gelas pecah itu, Andre tidak mudah lagi percaya siapapun, ia tidak percaya mamanya, dan laki-laki yang mengaku ayahnya, pun Andre tidak percaya Tuhan.

Kenapa Tuhan lahirkan dia kalau tidak diinginkan mamanya?

Sejak gelas pecah itu pula, Andre yang selalu menjadi pendengar yang baik saat orang-orang berbicara padanya, kini tidak lagi. Andre seolah menutup telinganya rapat-rapat, tak mau lagi mendengar omongan mamanya dan orang-orang yang berada dirumah itu.

Keputusan besar untuk lari dari mamanya  lalu menemui papanya dikantor dan meminta untuk menfambilkan raportnya, dan tinggal bersamanya, nyatanya salah besar. Ia salah mengambil keputusan.

Andre benci ingatan ini, ingatan yang membuat jalan hidupnya untuk bahagia terhambat. Sampai kapanpun kebahagiaannya yang terpenting. Ingin rasanya Andre Amnesia dan melupakan ingatan-ingatan menyakitkan baginya. Andai bisa ingantan dioperasi dan diambil, ia akan melakukannya sejak dulu, sejak keputusan untuk tidak menganggap ada orang tuanya, pun Tuhannya.

Tuhan? Hhh ...

Andre tertawa sumbing. Tuhannya ada tapi dianggapnya tak ada. Dimana Tuhannya yang kalau ada malah membiarkan hidupnya sengsara tanpa arah, tanpa bahagia.

Entah berapa lama Andre meratapi nasibnya yang menyakitkan, mencabik-cabik hatinya dalam, sampai tidak sadar dengan kedatangan Ammar, dan kehadiran Ammar menghentikan ratapannya begitu saja.

Ya, lelaki bertubuh semampai itu telah memasuki kamar Andre lengkap dengan mangkuk dan gelas berisi air dikanan kirinya.

Arghh ...
Perlakuan Ammar kepadanya seperti dia pacarnya, seperti Ammar seorang cewek yang begitu telaten, dan itu mengingat Andre pada sosok gadis yang mengisi harinya tiga tahun terakhir, membuatnya jatuh dan cinta bersamaan, lalu menghempaskannya jauh ketepi lautan saat ia benar-benar jatuh terlalu dalam, tenggelam.

Hhh ...

Nafas Ammar dihembuskan berat melihat teman barunya yang aneh begitu berantakan, begitu frustasi, dan seperti hancur. Andre yang melamun saat ditemuinya pertama kali tidak seberapa dibanding kemarin dan hari ini. Andre seolah memiliki beban yang berlipat-lipat dan menyakiti bathinnya dalam.

Bukankah keadaan Andre saat ini mencerminkan dirinya di masa lalu? Apakah dirinya seperti Andre saat itu? Terlihat kusut, berantakan dan membuat takut yang melihat?

"Dimakan dulu, And. Maaf kalo nggak enak. Kamu udah mendingan? Obatnya diminum habis makan. Tapi, aku takut kamu nggak suka sama makanannya, soalnya itu makanan anak kost yang murah meriah. Kan, hemat ke kantong. Hehe ... "

Ammar mencoba menghibur, tapu sudah tahu hiburan Ammar tak berefek apapun pada Andre, justru perhatian-perhatian kecil yang sangat berefek dan menyentuh hati Andre. Perhatian yang seperti membelikannya obat demam kemarin, membelikannya bubur semalam, mengatur minum obatnya, dan sebagainya. Ammar sudah seperti mamanya, sayang. Padahal baru kenal.

Ngantuk ah, ngetiknya. Ngegantung yak?

Biasa, namanya juga up tiap part, pasti selalu bersambung. Kulanjut besok dah.

Ini baru 1007 kata sama angka itu.
Wkwk huwaayy..
Babay ... semoga nggak bosen. Bilang kalo bosen, ntar kugantung nih cerita di jemuran, atau kumasak dangan bumbu khas betawi, wkwk.

Plak.
Nggak jelas.

Andrenata Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang