"Ammar," panggil Andre saat keduanya kembali menyusuri jalan tikus disela-sela perumahan yang berdempetan.
"Kenapa, And?"
"Lo, tiap hari solat di Masjid?"
"Maksudnya?"
"Maksud gue kalo lo lagi disini solatnya selalu ke masjid?" Ammar mengangguk sambil menoleh ke samping kanan dimana disitu Andre berada, berjalan bersisian.
"Kenapa?"
"Karena laki-laki itu lebih utama solatnya di masjid."
Alasan yang kurang membuat tertarik untuk diteladani bagi Andre.
"Selain itu?"
"Aku suka aja, suka berada di masjid, tenang, tentram, menyejukkan."
"Hanya itu?" Ammar lagi-lagi mengangguk namun netranya fokus pada jalanan yang sempit.
"Gimana bisa lo suka ke masjid? Pasti ada alasan spesifiknya, kan?"
Ammar menarik napasnya panjang, lalu menghembuskannya kasar.
"Dulu, bapak aku Muadzin di masjid itu, setiap hari aku selalu dibawanya, sampai-sampai masjid itu jadi rumah kedua buat aku, kadang meski bapak pulang aku enggan ikut pulang, lebih suka disini, banyak teman, ngaji bareng, belajar tajwid bersama, ya walau pada akhirnya tetap lebih banyak mainnya." Suara Ammar terdengar lirih, ada nada kerinduan tersemat didalamnya.
Andre mendengarnya dengan seksama, syukur-syukur dia bisa merasakan kesedihan dalam nada suara Ammar. Keduanya sudah sampai dirumah Andre dan disambut oleh sang Umi di depan pintu, tersenyum sambil menatap putranya bangga.
Ah, Andre ingin pula ditatap seperti itu oleh mata teduh yang mendamaikan, tutur lembutnya, sikap tulusnya, dan semuanya yang ada pada Umi membuat Andre iri. Andre pikir, pasti Ammar sangat bahagia berada dikeluarga ini.
"Assalamualaikum, Umi." Ammar langsung menyalami sang Umi penuh takdim.
Andre yang berada di samping Ammar hendak mengulurkan untuk bersalaman namun ditolak halus oleh Umi Ammar.
"Tidak usah, Nak, tidak apa-apa. Saya memang bilang bahwa anggap saya sebagai ibu kamu, tapi kita tidak ada hubungan darah, dan untuk sekedar menyentuh meski niatnya menghormati, itu tidak perlu."
Andre kikuk, menunduk tiba-tiba dan enggan menampakkan muka yang sedang tersenyum malu itu. Ah, ia lupa, bukankah hal ini juga pernah dilakukan Agatha.
"Umi sengaja nunggu Ammar?" Perempuan paruh baya bernama Khotijah itu mengangguk.
"Ada apa, Mi?"
"Aterraghi Liza abelih kaponduk cong, tak nyaman ekatelah tetanggeh mon pakkun bedeh e roma, seddeng kancanah kakeh nginep neng dinnak, kan?" Ammar mengangguk.
(Anterin Liza balik ke pondok, nak, nggak enak dilihatin tetangga kalau ada dirumah, sedang temanmu bermalam disini, kan?)
Liza adalah adik Ammar, anak kedua dari empat bersaudara. Khotija sengaja menggunakan bahasa madura dikarenakan memikirkan perasaan Andre, ia orang baru, baru nyampek pula, kalau harus paham dengan percakapan ibu dengan sang anak biarlah ia tahunya kalau Ammar hanya diminta mengantar adiknya kembali ke pondoknya.
"Yaudah, Andre istirahat aja dikamar Ammar, ya! Ammar harus nganter adiknya balik dulu. Tidak apa-apa, kan?"
Sontak Andre menggeleleng. "Tidak apa-apa Umi, Andre juga pengen istirahat, remuk punggung perjalan Surabaya-Madura, hehe."
"Halah, kamu mah biasa baru pertama kali, nanti kalau udah biasa akan terbiasa, bahkan akan menganggap dekat, iyya, kan, Ammar?" Uminya meminta dukungan Ammar.
Andre melongo. 3 jam lebih perjalanan ng-motor dan itu dibilang dekat?
"Ammar, lho pernah bolak balik Surabaya-Madura dua kali dalam sehari."
Andre semakin melongo menatap Umi Khotijah dan Ammar bergantian, yang ditatap malah tersenyum.
"Udah, Umi, ngibrolnya nanti, Andre mau istirahat."
Sang Umi menepuk jidatnya bak anak muda, rada gaul. "Maaf, Umi gini nih kalau keasikan ngobrol. Yaudah sana masuk, Andre."
Andre masuk sesuai perintah, sedang Umi masuk ke dapur menyiapkan bekal yang akan dibawa putrinya--Liza. Sedang Ammar menunggu Liza di luar dengan motor yang sudah ready.
Di dalam kamar berukuran 3x3 seorang Andrenata Abraham yang berniat untuk istirahat nyatanya tak juga bisa memejamkan matanya, ada sesuatu yang ia pikirkan tentang dirinya, masa lalu, juga hakikat keluarga baginya.
Arghh ... Andre terlanjur membenci Papanya, membenci Mamanya, Andre membenci semua orang-orang di masa lalunya, termasuk Kalila.
Melihat Ammar dan keluarganya yang tampak bahagia walau hanya kehadiran sosok ibu, tidak membuat keluarga ini bersedih, bahkan dalam keadaan ekonomi yang sederhana dan apa adanya, mereka tetap menjalaninya dengan senang hati, seolah tidak menjadi beban suatu kekurangan, suatu kesederhanaan.
Hati Andre ter-enyuh. Kini ia sadar, bahwa harta, materi, dan segala yang ia punya dengan cara berlebihan tidak bisa bikin dirinya sesenang Ammar menjalani hidupnya. Yang ia pikirkan kali ini adalah, apakah benar dirinya butuh Papa dan Mamanya?
Sayangnya, ego Andre lebih tinggi, kebencian yang ada dalam hatinya masih bertahta, luka itu belum mengering sempurna.
Kling ... kling ...
Ali Abraham is calling ...
Enggan sebenarnya Andre untuk sekedar mengangkat panggilan itu, masih enggan pula mendengar suara dan tausiah panjangnya. Andre benci.
Walau begitu, pada panggilan yang ketiga kalinya Andre berusaha mengangkat panggilan itu dengan berat hati.
"Halo, Assalamualaikum, Andre."
"Waalaikumsalam," jawab Andre singkat.
"Kamu ada dimana? Kenapa Apartemennya dikunci? Bukankah kuliah sudah libur? Mama kamu khawatir sejak pagi nunggu di Anpartemenmu."
Masih perduli? Batin Andre. Buat apa? Hanya untuk memaksanya lagi? Mencoba memberi perhatian agar ia luluh dan mau dijadikan robotnya, dimanfaatkannya?
Sayangnya, Andre sudah tahu itu. Ia tidak akan goyah dengan pertanyaan beruntut sok memberi perhatian itu.
"Gue di Madura. Nggak usah nyari-nyari gue, gue bukan anak lo, nggak usah sok perhatian sama gue," sarkas Andre pada pria paruh baya diseberang sana.
Terdengar helaan napas dari seberang sana.
"Sampai kapan, Andre? Sampai kapan kamu mau begitu? Mau membeci papa sama mama selamanya, iyya? Papa nggak mau maksa kamu lagi buat ambil jurusan bisnis, buat menggantikan perusahaan papa, nggak mau maksa kalau kamu tidak mau, terserah kamu. Terakhir, tolong maafin papa sama mama, semuanya tidak seperti yang kamu lihat--"
"Udah?" potong Andre yang sudah mulai kesal mendengar kalimat panjang pria di seberang sana.
"Papa minta jangan tinggalin solat, Ndre. Mau kamu nganggep papa ada atau nggak, kamu tetap tanggung jawab papa--."
Ting.
Telpon dimatikan sepihak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Andrenata
Spiritualini bukan kisah bad boy yang kemudian ketemu gadis pujaannya lalu merubahnya menjadi baik. tapi, ini kisah serang anak yang tak diinginkan orang tuanya, ia dilahirkan karena sebuah keterpaksaan, tanpa cinta, pun tanpa kasih sayang. ia dilahirkan han...