Bab_ 30🅰

70 10 7
                                    

Andre terbangun tepat pada pukul 16.30, dan itupun dibangunkan oleh Ammar.

"Solat, And. Udah sore, kamu juga belum makan siang."

Andre menggeliat, lalu duduk dan merenggangkan otot-ototnya yang remuk setelah perjalanan Surabaya- Madura. Ditambah kaaur yang ia tiduri sekeras kayu, dan baginya tidak bisa dibilang kasur, tepatnya seperti hamparan lantai yang kemudian disusun agar lebih tinggi.

"Sakit semua punggung gue."

"Maaf yah, aku nggak punya fasilitas seperti yang kamu punya, adanya aku ya ini," sesal Ammar merasa tak enak hati pada tamu yang memaksanya ikut.

Andre mencoba menambahkan stok kesadarannya, menggeleng berulang-ulang.

"Emang nggak biasa sih, tapi yaudah santai kali Mar, punggung remuk juga mungkin perjalanan ng-motor yang nggak biasa jauhnya. Tanpa istirahat pula."

"Ya, maaf. Aku selain terbiasa pakai motor juga karena biar irit aja. Eman-eman uang lebihnya bisa dipakai keperluan lain."

Perkataan tidak nyaman dan sungkan yang Ammar keluarkan sejak tadi membuat Andre berpikir sejenak sembari mengumpulkan kesadarannya yang kurang satu persen itu.

"Udah jangan dipikirin, And. Solat dulu sana, ntar kehabisan waktunya. Setelah itu makan, tapi ya seadanya. Umi sudah siapin di meja dapur, aku tunggu, kita makan bareng."

Kepedulian Ammar, kehangatan, juga ibunya yang welcome membuat Andre merasakan kehadiran sosok keluarga, sosok saudara.

Andre mengangguk dan beranjak turun dari kasur.

🅰🅰🅰

"Umi ngapain, Mi?" sapa Andre pada perempuan paruh baya yang menampah berasnya untuk dibersihkan sisa-sisa kerikil dan kulit padinya.

"Eh, Andre. Ini lagi bersiin beras."

"Kenapa mesti dibersihin, Mi?"

"Ya, kotor, banyak kerikilnya. Kalo makan tiba-tiba gigit batu kerikil itu bikin nafsu makan hilang. Hehe"

Andre ikut duduk di teras rumah kecil itu yang terasnya cukup diduduki dua orang dewasa. Tiga pun cukup asal yang bukan berbadan lebar.

"Jadi, tiap beras itu harus dibersiin dulu ya, Mi??"

"Ah, nggak. Kalau berasnya bagus, harganya mahal, ya bersih tidak usah dibersihin. Kalau ini kan beras murah, kerikil ada, sampai hewan sejenis kutu merayap."

Andre manggut-manggut. Keluarga ini mengajarkan Andre bagaimana hidup itu harus disyukuri, bahkan dalam keadaan yang kekurangan seperti ini.

Ah, Andre yang berlebihan saja masih sering mengeluh, merasa tidak senang, merasa Tuhan tak adil padanya karena tak memberikan kebahagiaan.

"Jadi, maafin Umi yah, Andre dikasi nasi yang tidak berkualitas tinggi."

"Ah, Umi. Andre yang harusnya minta maaf udah numpang makan sama tidur," sesal Andre.

"Andre boleh tanya, Mi?" Tambah Andre saat Umi Khatijah fokus mencari sesuatu di beras putih itu.

"Boleh. Mau tanya apa?"

"Umi lancar pake bahasa indonya itu--."

"Ah, itu-- Umi bukan asli sini. Umi asli Tegal, pindah kesini ikut suami." Tiba-tiba suaranya terdengar lirih saat menyebut kata 'suami'.

"Terus, suami Umi asli sini?" Umi mengangguk. Andre sepertinya menyesal telah menanyakan suaminya, tapi sungguh ke-kepoan Andre belum usai.

"Ammar anak pertama, Mi?" Lagi-lagi sang Umi hanya mengangguk.

"Ammar baik banget, Mi. Sama kayak Umi. Gimana cara Umi ngdidik putra sebaik itu?"

Khatijah meletakkan beras dipangkuannya, ia sudah menampihnya. Sekarang giliran sesi curhat dimulai.

"Sebenarnya bukan Umi yang ngdidik Ammar, tapi Abihnya."

"Sedari kecil, Ammar tidak mau lepas dari abinya. Padahal anak laki-laki itu biasanya lebih dekat pada ibunya. Umi dulu nggak seperti ini, dulu umi suka bentak-bentak, kasar, ngambekan. Tapi Abinya Ammar mengubah semuanya, sampai didikan Ammar, dia yang ngdidik. karena semasa kecilnya Ammar, umi juga lagi jalanin pendidikan dari abinya Ammar."

"Ammar tumbuh sebaik dan sebertanggung jawab itu juga karena abinya. Abinya yang ngajarin bagaimana bersikap pada sesama, bagaimana bersikap pada yang lebih tua, bersikap pada yang lebih muda."

Dari jarak 1 km tampak Ammar sedang berlarian mengejar dua anak laki-laki. Satu berumur 8 tahun, satunya 5 tahun.

Andre yang melihat itu terenyuh, disusul tatapan umi yang mengarah pada objek yang sama.

"Umi bersyukur banget punya Ammar, dia seperti malaikat bagi Umi. Walau dulu pernah bikin umi khawatir."

"Khawatir kenapa, Mi?"

"Khawatir anak umi yang umi banggakan berubah."

Sampai disini Andre semakin dibuat bingung, tapi untuk melanjutkan pun si pemeran utama sudah di depan mata.

"Assalmualaikum, Umi." Seperti biasa, mencium tangan yang udah mulai keriput itu.

"Kak Andre, toreh kak, main bal." Seorang anak kelas dua SD itu menarik-narik baju kemeja Andre.

(Kak Andre, ayo Kak main bola.)

Andre bingung, tapi tangannya ditarik agar turun dari teras rumahnya. Tatapannya beralih pada Ammar meminta penjelasan.

"Kak Andre tak oning bahas madhure, lek," ucap Ammar membantu temannya yang sedang clingak-clinguk tak paham.
(Kak Andre gak tahu bahasa madura, Dek.)

"Dhingghel, kak. Bik guleh e ajhernah cak madhureh. Haha."

(Biar, Kak. Nanti aku ajarin bahasa madura.)

Laki-laki bernama Alif itu adik Ammar, anak ke-tiga dari empat bersaudara.

"Umi, Amir amainah keyah. Huhu."
(Umi, Amir mau main juga.)

"Malem ponan cong, mandih ghii, can nurokah kak Alif ngajih." Tatapannya berpindah pada Alif yang masih memaksa Andre bermain. Pasalnya Andre sudah rapi dan harum. Ia tidak mau bercengrama dengan keringat lagi.

(Malem sudah, Nak, mandi yaa , katanya mau ikut kak Alif ngaji.)

Andrenata Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang