"Assalamualikum, Umi!" sapa Ammar pada perempuan paruh baya yang sedang menampih beras diteras rumah kecil bernuansa hijau. Andre mengekor dibelakangnya.
Perempuan itu langsung menoleh kala mendengar suara yang tak asing lagi di pendengarannya.
"Ammar! Mole la cong?" Ammar mengangguk dan meraih tangan yang sudah keriput, tangan yang bagi Ammar segalanya, disana semua tercurahkan.
(Ammar! Sudah pulang nak?)Perempuan itu langsung menubruk tubuh Ammar setelah punggung tangannya diciumi anak tertuanya.
"Engghi, Mi," jawab Ammar setelah sesi pelukan itu selesai.
(Iyya, Mi.)Disisi lain Andre yang melihat pemandangan itu hatinya menghangat, ada rasa haru yang menjalar. Seketika ia kikuk ditatap ibu Ammar penuh tanda tanya.
"Sapah, Cong?"
(Siapa, Nak?)Andre kebingungan mau menimpali, ia jelas tahu dari tatapan ibu Ammar bahwa ia sedang bertanya. Sayang, Andre tak mengerti bahasa daerah Ammar.
"Kancanah guleh, Mi," jawab Ammar sambil melirik Andre yang sedang cengar-cengir kebingungan, dan itu suatu hal yang lucu bagi Ammar.
(Teman saya, Mi.)Wanita paruh baya yang dipanggil Umi oleh Ammar mengangguk paham.
"Masok, Nak, masok, lengghi. Maklum aghi romanah kenik, gubuk, Tak pateh sae, ken etembheng tak andik roma, Nak. Nikah tak rang-korang asokkor se eparengin sareng se Kobesah."
(Masuk, Nak, masuk. Maklumin rumahnya kecil, gubuk, nggak begitu bagus, tapi daripada nggak punya, Nak. Ini sudah cukup bersyukur sudah dikasih sama Yang Kuasa."Andre semakin bingung apa yang dibicarakan ibu Ammar panjang lebar sambil menata taplak meja yang kurang baik peletakannya, juga memungut mainan yang Andre perkirakan milik anak SD.
Sedang Ammar bahagia diatas kebingungan sang teman. Ingin ngakak sebenarnya tapi takut Umi curiga.
"Lengghi, Nak. Tak langkong nika' tak sae, sadeknikah kabede'ennah."
Andre masih mematung didekat Ammar sambil menatap ibu Ammar yang juga sedang menatapnya sambil memerintah dengan tangan digerak-gerakkan keaeah kursi.
Andre duduk, karena memang seperti itu yang dipahami dari ekspresi ibu Ammar, lalu tatapannya beralih pada Ammar yang tawanya ditahan untuk meledak.
"Paserah asmanah, Nak?" Tanya ibu Ammar setelah ikut duduk di kursi paling ujung.
(Siapa namanya, Nak?)Andre bingung, ia tak mengerti ucapan perempuan didepannya, minta bantuan Ammar, Ammar sepertinya sengaja lari masuk pada sebuah kamar tanpa pintu hanya sehelai kain yang menjuntai sampai bawah. Sepertinya akan meletakkan ransel.
"Nak?"
"Eh, i-iyya buk," jawab Andre kikuk. Kalau saja ibu Ammar tidak ada dan ini bukan rumah Ammar, ingin rasanya di pecel-pecek si Ammar biar jadi sayur.
"Paserah asmanah sampean?"
(Siapa namamu?)Andre mengangkat kedua alisnya bingung, tidak tahu harus menjelaskan bagaimana. Apa kiranya ibu didepannya ini akan mengerti kalau ia jelaskan pakai bahasa.
"Maaf, buk ... bisa pakai--" terjeda setelah Ammar memotongnya.
"Asmanah Andre, Mi. Andre tak ngarteh dek oca'nah ajunan."
(Namanya Andre, Mi. Andre nggak ngerti bahasanya sampean.)Andre sudah mulai menghirup oksigen lebih banyak saat Ammar datang dan menyela ucapannya.
"Oh, ya Allah, maafin Umi nak, tidak tahu kalau nak ... Andre tidak ngerti. Memangnya orang mana?"
"Asli surabaya, Bu."
"Jangan ibu, Umi saja seperti Ammar."
Andre mengangguk disertai senyuman yang tidak bisa dipahami apa artinya. "Iyya, Umi."
"Yaudah, Umi kedapur dulu nggih?" Beranjak lalu berjalan menunju pintu paling ujung dan tampak asap berterbangan di baliknya.
"Umi bilang apa sih, Mar sejak tadi? Gue ngak ngerti tauk, lo malah ngetawain gue, karma lo ntar."
Tawa Ammar pecah. "Kamu ... lucu And kalau kebingungan. Hahaha ..."
"Wah, kualat lo ntar bahagia diatas penderitaan orang."
"Yee ... maklum umi nggak tahu kalau kamu nggak bisa bahasa daerah."
"Tapi bener deh, tadi umi ngomong apa aja panjang lebar begotu?"
"Umi bilang Maklumin rumahnya kecil, gubuk, nggak begitu bagus, tapi daripada nggak punya, Ini sudah cukup bersyukur sudah dikasih sama Yang Kuasa."
Andre mulai mengamati seisi ruang setelah Ammar bilang begitu. Tapi benar, rumah ini hanya luarnya saja yang dikeramik warna hijau, sedang dalamnya seperti semen yang dibiarkan terhampar, juga tembok yang menampakkan batu kotak persegi panjang menempel dengan semen yang telah berubah warna menjadi merah tanah.
"Kak, Tehnya."
Seorang gadis berkerudung coklat tua keluar dari pintu yang sama dengan Ibu Ammar tadi, membawa nampan berisi gelas teh hangat.
"Beh, mik bedeh ekantoh dek?"
(Beh, kok ada disini dek?)Si gadis yang bersangkutan langsung berhambur memeluk Ammar yang sedang bediri di seberang Andre yang duduk. Ada haru yang meluap dari diri Andre, walau ia bingung siapa gadis yang sedang memeluk temannya itu. Tapi perkiraan Andre dia adalah adiknya mengingat gadis itu memanggil 'kak' dan Ammar memanggilnya 'dek'.
Andre sedikit tercengang pada gadis di depan Ammar yang telah melepas pelukannya.
"Ehm ... " Ammar berdeham hanya untuk memutuskan tatapan Andre pada gadis di depannya yang adalah Adiknya.
"Umi sakit, Kak."
"Loh, kayaknya Umi baik-baik aja?"
"Kemaren udah sembuh pas mimpiin kakak, kek jadi obat gitu, padahal udah diobatin sebelumnya."
"Kontak batin tuh," sela Andre membuat kakak beradik itu menoleh.

KAMU SEDANG MEMBACA
Andrenata
Spiritualini bukan kisah bad boy yang kemudian ketemu gadis pujaannya lalu merubahnya menjadi baik. tapi, ini kisah serang anak yang tak diinginkan orang tuanya, ia dilahirkan karena sebuah keterpaksaan, tanpa cinta, pun tanpa kasih sayang. ia dilahirkan han...