Bab_ 2🅰

94 23 10
                                        

"Di mana apartemen, lo?"

Andre menyebutkan alamat apartemennya. Tapi Ammar tidak mengenalinya. Pantas saja, dia orang baru di kota ini, anak rantau beberapa minggu lalu.

Andre menggeleng frustasi, sok bertanya alamat tapi tidak tahu tempat. Berakhirlah Andre yang menyetir Unta Besi itu.

Setelah sampai, Ammar dibuat kaget. Ia semakin tak enak telah mengajak Andre menginap ditempat kumuh. Apartemen Andre kelas atas, seperti apartemen para pejabat dan direktur. Oh, tidak, ini bukan seperti lagi, ini memang tempat orang-orang pembisnis berseragam rapi dengan sepatu super mengkilat tanpa lecet.

"Disini apartemen, mu?" Andre hanya mengangguk sebagai jawaban.

Setelah turun, Andre mengajak Ammar naik ke apartemennya, namun Ammar menolak dengan alasan biar tidak lama.

"Jangan lama-lama, lima belas menit lagi aku harus masuk kelas."

Sebelah tangan Andre terangkat keatas dengan tergenggam, hanya jari jempolnya yang bebas, lalu berjalan cepat menaiki lift.

Lima belas ... dua puluh ... tiga puluh menit berlalu, tapi tidak ada tanda-tanda batang hidung Andre akan terlihat.

Sampai detik ketiga puluh empat barulah pria yang tadinya bermuka bantal sudah berganti cerah, rambut yang basah terlihat mengkilat saat terpapar sinar matahari, lalu kemeja berwarna Navy yang dibiarkan kancingnya tak terpasang memperlihatkan kaus coklat susu bergambar sepatu tergantung, terlambai ke-kanan dan ke-kiri. sebelah tangannya mengusap kasar rambut klimaks itu, menampilkan aksen cool di mata cewe-cewe yang akan melihatnya.

"Diminta cepetan malah tebar pesona, bukan waktu dan tempatnya Andre, aku udah telat ini," serang Ammar.

Dengan gaya santainya, ia hanya nyengir tak berdosa, menaiki unta besi, dan memakai helm yang sempat Ammar pinjamkan pada anak satu kost-nya.

Ammar hanya menggeleng-geleng tak paham dengan pria di belakangnya ini. Kemarin sampai tadi pagi pun, muka suram dan menyeramkan yang ia tampilkan, lalu dengan mudahnya ia cengar-cengir merasa tak bersalah sedikitpun.

Argh.. apa peduli Ammar saat ini, ia hanya peduli kuliahnya yang akan tertinggal banyak menit. Pasalnya, jalanan dikota tidak bisa dibilang macet, pun dengan bahasa lengang. Dibilang macet, roda masih terus berputar, pun dibilang lengang, masih tak bisa menaikkan kecepatan 40 km/hm menjadi sepuluh atau dua puluh angka diatasnya.

Bisa-bisa negara ini akan menjadi Negara Metropolitan, bukan hanya kota kalau setiap kota penuh kendaraan besi yang membuat udara tak lagi asri.

Setelah motor Ammar memasuki gerbang kampus, barulah jalanan lengang, karena bukan jalanan umum.

Sampai di depan fakultasnya, segera Ammar berlari menyusuri tangga yang menghubungkan tiap lantai untuk sampai dikelasnya.

"Assalamualaikum. Maaf, Pak, saya terlambat," ucap Ammar tegas namun masih sopan.

"Siapa nama kamu?" tanyanya sinis.

"Ammar Fathoni, Pak."

"Ya sudah, masuk. Baru minggu pertama sudah telat, bagaimana minggu berikutnya?"

Bapak berkumis tipis yang diperkirakan usia hampir mencapai setengah abad itu hanya geleng-geleng kepala melihat mahasiswa baru yang harusnya masih semangat-semangatnya malah terlambat.

Sedang Andre yang sejak tadi bersembunyi di belakang Ammar nyelonong masuk tanpa merasa gugup ataupun takut.

"Kamu siapa?" tanya bapak lagi yang netranya tertuju pada Andre.

Andrenata Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang